Rabu, 09 Juni 2010

ASKEP SINDROM DOWN

BAB II
LANDASAN TEORI

A. ANATOMI FISIOLOGI
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q. jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t (14q21q) ai adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui. (Suryo.Genetika Manusia. 2001) (Patofisiologi, Edisi 4. 1994)

B. KONSEP DASAR MEDIS
1. Definisi
Sindom Dwon adalah kelainan hereditas biasanya turun temurun, ada faktor sakit yang kronis diturunkan kepada anak. Sindrom Down merupakan kelainan dari anak sejak dilahirkan yang dapat disebabkan oleh faktor luar atau faktor hereditas, atau biasa dikatakan kelainan pada kongenital. Faktor hereditas diturunkan melalui kromosom. Pada spermatocyit dan ovum jumlah kromosom setengah dari somatik dan seks, sedang tiap kromosom ini terdiri dari DNA yang menyusun gen
Kelainan struktur kromosom dapat dikemukakan sebagai berikut :
a.) Molleculer disease
b.) Kromosom biasanya sepasang-sepasang, yang setiap pasang fungsinya sama yaitu mengatur fase-fase sel tetapi sifat kemempuan kualitas atau komplikasi tidaklah sama.
c.) Kromosom abnormalitas, jumlah dan bentuk kromosom yang berlebihan misalnya Trysomi.
d.) Homozigot adalh sifat-sifat kromosom sama, heterozygot adalah sifat kromosom yang berlainan, dalam heterozygot yang mempunyai pengaruh banyak disebut dominan dan yang mempunyai pengaruh kecil disebut resesif. Biasanya suatu corak patologi dominan dapat timbul bila heterozygot karena ada faktor dominasi. Resesif Traits Path berlaku untuk abnormal diluar seks kromosom. Adakalanya dominan turun temurun kadang-kadang resesif, hal ini menimbulkan autosom yang inkompleks, misalnya : alkaptunori kadang-kadang resesif dsn kadang dominan.
Sindrom Down dapat disebut juga penyakit Mongoloid. Yaitu berupa kelainan pada kromosom no 15 dan 21, yang biasanya kedua kromosom ini berdekatan. Karena salah satu penyebab yang tidak seharusnya, terjadilah pemecahan yang disebut dispuntum. Karena suatu
penyebab, dapat juga keadaan ini disebut translokasi yang sifatnya sama karena jumlahnya, tetapi pada pembentukan gamet berlainan.
Anak Sidrom Down ini dilahirkan dengan beberapa kelaionan, antara lain :
a.) Bentuk kepalanya kecil disebut mikkrosephali.
b.) Penutupan fontanel yang lambat.
c.) Muka bundar dengan kepala dari samping yang gepeng.
d.) Matanya hipertelorisma atau jarak antara kedua mata lebar.
e.) Adanya ephikantus ata adanya lipatan di medial dari mata.
f.) Kelinan hidung, tulang hidung tidak terbentuk sehingga pangkal hidungnya rata yang memberi jarak mata jauh.
g.) Mulut kecil dengan lidah yang tampak besar dan betendensi selalu mengeluarkan lidah.
h.) Adanya strabimus, katarakta dan nystagmus.
i.) Tonus dari leher kecil seakan-akan kepala mau jatuh.
j.) Tonus dari otot perut juga kecil sehingga perut nampak buncit dan mudah menyebabkan herisumbulicalis dan ingunalis.
k.) Pada thoraks, kelainan jantung (75% disertai kelainan jantung kongenital) biasanya septal defect/transposisi pembuluh darah besar.
l.) Ekstermitas pendek, telapak tangan tidak ada tiga garis melainkan terdapat dua garis transversal disebut siman line
m.) Genital, perkembanagnya lambat dan tidak sempurna, tanda-tanda kelamin sekunder juga lambat.
n.) Terdapat kelambatan perkembangan : derajat mentalnya menurun, imbisil, debil, dan idiosi. (Suryo. Genetika Manusia. 2001)
2. Etiologi
Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinaya pemecahan kromosom dan pecahnya hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi. Pengaturan kembali yang dilakukan sel dapat enghasilkan keseimbangan normal tetapi dapt juga menjadi tidak seimbang. Jika terjadi keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan kromosom normal. Pengaturan semacam ini biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis. Apabila terjadi ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan sel-sel tersebut. Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.
Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah kromosom dari orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu merupakan “carrier” yang walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya, laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya , sampai sekarang belum diketahui. (Suryo. Genetika Manusia. 2001).
3. Patofisiologi
Sindrom Down dapat terjadi karena umur ibu yang berumur lebih dari 30 tahun. Mungkin karena suatu ketidakseimbangan hormonal. Umur ayah tidak berpengaruh. Kelainan kehamilan dan kelainan endokrin (pada usia tua dapat terjadi infertilitas relatif. Kelainan tiroid/ovarium), juga memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom atau Sindrom Down.
Seorang perempuan lahir dengan semua oosit yang pernah dibentuknya, yaitu berjumlah hampir 7 juta, semua oosit tadi berada dalam keadaan istirahat pada profase I dari meiosis, sejak sebelum ia lahir sampai mengadakan ovulasi. Dengan demikian maka suatu oosit dapat tinggal dalam keadaan istirahat untuk 12-45 tahun. Selama waktu yang panjang itu, oosit dapat mengalami Nondisjungction, yaitu adanya virus, adanya pengandungan antibodi tiroid tinggi, sel telur akan mengalami kemunduran apabila setelah satu jam berada di dalam saluran fallopi tidak dibuahi.
Sebaliknya, testis menghasilkan ±200 juta spermatozoa sehari dan meosis di dalam spermatosit keseluruhannya membutuhkan 48 jam/kurang. Berhubungan dengan itu Nondisjunction boleh dikatakan tidak pernah berlangsung selama spermatogenesis.
4. Manifestasi klinis
Anak dengan Sindrom Down sangat mirip satu dengan yang lainnya, seakan-akan kakak beradik. Retardasi mental sangat menonjol disamping juga terdapat retardasi jasmani. Kemampuan berpikir dapat digolongkan pada idiot dan imbisil serta tidak akan mampu melebihi seorang anak yang berumur 7 tahun. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat sederhana, biasanya sangat tertarik oada musik dan kelihatan sangat gembira. Wajah anak sangat khas, kepala kecil dan brakhisephalis dengan daerah oksipital mendatar. Muka lebar, tulang pipi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan, serta sipit miring ke atas dan samping (seperti Mongol). Iris mata menunjukkan bercak-bercak (Bronsfield Spots). Lipatan epikantus jelas sekali, telinga agak aneh, bibir tebal dan lidah besar, kasar dan bercelah-celah (Scrotal tongue). Pertumbuhan gigi geligi sangat terganggu. Kulit halus dan longgar, tetapi warnanya normal. Di leher terdapat lipatan-lipatan yang berlebihan. Pada jari tangan tampak kelingking yang pendek dan membengkak ke dalam. Pada pemeriksaan radiologis sering ditemukan falang tengah dan distal rudimenter. Jarak antara jari I dan II, baik pada tangan maupun kaki agak besar melintang (Simian crease).
Alat kelamin biasanya kecil. Otot hipotonik dan pergerakkan sendi-sendi berlebihan. Kelainan jantung bawaan seperti defek septum ventrikel sering ditemukan. Penyakit infeksi terutama saluran pernapasan sering mengenai anak dengan kelainan Sindrom Down. Angka leukimia timggi. Pertumbuhan bayi kadang-kadang baik tetapi kemudian menjadi lambat.





5. Pemeriksaan Diagnostik
Amniosentesis
Yaitu pemeriksaan kemungkinan adanya kelainan kromosom pada bayi yang masih terdapat di dalam kandungan ibunya. Cairan amnion berikut sel-sel bebas dari fetus (bayi dalam kandungan) diambil sebanyak 10-20 cc dengan menggunakan jarum injeksi. Waktu yang paling baik untuk melakukan amniosentesi ialah pada kehamilan 14-16 minggu. Jika terlalu awal dilakukan, cairan amnion belum cukup banyak, sedang jika terlambat melakukannya, maka akan lebih sulit untuk membuat kultur dari sel-sel fetus yang ikut terbawa amnion.
Sel-sel fetus setelah melalui suatu prosedur tertentu lalu dibiakkan dan 2-3 minggu kemudian diperiksa kromosomnya untuk dibuat kariotipenya. Apabila pada kariotipe terlihat adanya 3 buah autosom nomor 21, maka secara prenatal Sindroma Down sudah dapat dipastikan pada bayi itu. Resiko adanya bayi Sindrm Down bagi ibu-ibu yang berumur kurang dari 25 th ialah kira-kira satu dalam 1500 kelahiran, pada usia 40 tahun dalam 100 kelahiran, sedangkan pada usia 45 tahun satu dalam 45 kelahiran. Ini berarti bahwa apabila ibu-ibu yang hamil pada usia 45 tahun diperiksa, maka satu dari 40 ibu-ibu dapat diduga mengandung bayi Trisomi-21. dengan diadakannya program Keluarga Berencana Lestari, maka resiko mendapatkan anak cacat Sindrom Down dan lain-lain yang disebabkan oleh kelainan kromosom dapat ditekan amat rendah. Amniosentesis dilakukan pula untuk mengetahui apakah bayi dalam kandungan mengalami gangguan biokimia.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk penyakit Sindrom Down terdiri dari
a. Pengobatan/therapi
Yang tersedia adalah berbagai macam antibiotika. Dengan adanya antibiotika, maka usia mereka kini dapat diperpanjang.

b. Pengasuhan
Anak-anak penderita Sindrom Down diasuh dalam suatu lembaga/yayasan khusus penderita Sindrom Down dengan asuhan yang sudah ada.
c. Tes amniosentesis
Amnion berikut sel-sel bebas dari fetus (bayi dalam kandungan) diambil 10-20 cc dengan menggunakan jarum injeksi. Dilakukan pada kehamilan 14-16 minggu. Sel-sel fetus setelah melalui prosedur tertentu lalu dibiakkan dan 2-3 minggu kemudian diperiksa kromosomnya untuk dibuat kariotipenya. Bila pada kariotipe dilihat adanya tiga buah autosom nomor 21 maka secara prenatal Sindrom Down sudah dapat dipastikan pada bayi itu.
7. Komplikasi
1). Hipotiroidime
Kadang sulit dibedakan. Secara kasar dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak dengan hipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan Sindrom Down biasanya sangat efektif.
2). Akondroplasia
3). Rakitis
4). Sindrom Turner
5). Retardasi Mental
6). Kelainan Jantung seperti defek septum ventrikel
7). Penyakit infeksi terutama pernapasan
8). Leukimia tinggi






C. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian (Doengoes, et all, 1999)
a. Aktivitas/istirahat
Data subyektif
1) Ibu klien mengatakan “anak saya tidak ada aktivitas selain baring dan menggerakkan tubuhnya”
Data obyektif
1) Klien tampak takipnea pada keadaan baring rata
2) Perubahan posisi klien tampak seutuhnya dilakukan oleh keluarga
3) Tampak terpasang O2 1 liter/jam
b. Sirkulasi
Data subyektif
1) Ibu klien mengatakan “anak lahir dengan kepala kecil”
2) Ibu klien mengatakan “saya duga anak saya duga penyakit paru- paru”
3) Ibu klien mengatakan “pertumbuhan anak saya berbeda dengan anak yang lainnya”
Data obyektif
1) Lingkar kepala
2) Napas terdebgar Rales dengan frekuensi napas 48x/menit
3) Klien tampak tidak ada pertahanan tubuh yang kuat
c. Integritas Ego
Data subyektif
1) Ibu klien mengatakan “anak saya tergantung pada kami”
d. Eliminasi
Data subyektif
1) Bapak klien mengatakan “anak ngompol 5x”
2) Bapak klien mengatakan “anak saya sudah BAB hancur 4x”
3) Orangtua klien mengatakan “banyak dahak putih di mulut anak”

Data obyektif
1) Urine tampak encer, pucat dan ngompol, feses warna kuning
2) Abdomen rata
3) Bising usus 30x/menit
4) Tampak ada asepto menghisap lendir
e. Makanan/Cairan
Data subyektif
1) Keluarga klien mengatakan “anak saya tidak mampu makan/minum”
Data obyektif
1) BB=5,5 kg. BB turun 2 kg
2) Ada SH dan IV
3) Kulit DBN
f. Hygiene
Data subyektif
1) Bapak klien mengatakan “saya selalu membersihkan anak saya”
Data obyektif
1) Klien tampak bersih
g. Neurosensori
Data subyektif
1) Ibu klien mengatakan “klien kadang kejang-kejang sebentar
Data obyektif
1) Otot seluruh tubuh tampak spasme
2) Tangan tampak mengepal
3) Tampak tegang
h. Pernapasan
Data subyektif
1) Keluarga mengatakan “anak saya susah bernapas dan sering batuk”
Data obyektif
1) Napas terdengar Rales kuat dengan frekuensi napas 48x/menit
2) Terpasang O2 dan SH
3) Mulut selalu terbuka
4) Tampak sputum putih di dalam mulut klien
i. Nyeri/tidak nyaman
Tidak dikjai
j. Seksualitas
Tidak dikaji
k. Interaksi sosial
Data subyektif
1) Ibu klien mengatakan “anak saya bisa melihat kepada orang yang berbicara pada anaknya”
Data obyektif
1) Tampak melihat kearah suara yang memanggil nama klien
2) Klien tampak sangat disayangi oleh keluarga

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas takefektif berhubungan dengan peningkatan produksi sputum
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan status mental/tingkat kesadaran
c. Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan penurunan masukan oral
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang informasi

3. Rencana/Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Berikut ini akan disajikan rencana keperawatan berdasarkan masing-masing diagnosa (Doengoes, et all, 1999):
a. Untuk diagnosa no.a
Tujuan: Ventilasi dan oksigen adekuat untuk kebutuhan individu
Kriteria: Menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan napas
Intervensi:
1) Kaji frekuensi/kedalaman pernapasan dan gerakan dada
R/: Takipnea, pernapasan dangkal, dan gerakan dada simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru. (Doengoes 1999, hal.166).
2) Penghisapan sesuai indikasi
R/: Merangsang batukpembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk takefektif atau penurunan tingkat kesadaran(Doengoes 1999, hal.166).
3) Bantu mengawasi efek pengobatan nebuliser dan fisioterapi lain, mis., spirometer insentif, IPPB, tiupan botol, perkusi, drainase postural. Lakukan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin.
R/: Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret. Koordinasi pengobatan/jadwal dan majukan oral mengurangi muntah karena batuk, pengeluaran sputum. (Doengoes 1999, hal.166).
4) Berikan obat sesuai indikasi; mukolitik, ekspektoran, brongkodilator,
R/: alat untuk mengurangi spasme bronkus dengan mobilisasi sekret. Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan mengurangi ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat mengurangi upaya batuk/menekan pernapasan. (Doengoes 1999, hal.166).
5) Berikan cairan tambahan, mis., IV, Oksigen humidifikasi, dan ruang humidifikasi.
R/: Cairan diperlukanuntuk menggantikan kehilangan (termasuk yang tak tampak) dan memobilisasikan sekret(Doengoes 1999, hal.166).

b. Untuk diagnosa no. b
Tujuan: Masukan nutrisi adekuat untuk kebutuhan individu
Kriteria: BB progresif kearah tujuan dengan nilainya bebas dari nutrisi.
Intervensi:
1) Kaji status nutrisi secara kontinue, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat energi; kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk makan/anoreksia.
R/: memberikan kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari normal/dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi (Doengoes 1999, hal. 1024).
2) Timbang BB setiap hari dan bandingkan dengan BB saat penerimaan.
R/: Membuat data dasar, membantu dalam memantau keefektifan aturan terapeutik, dan menyadarkan perawat terhadap ketidaktepatan kecendrungan dalam penurunan/penambahan BB (Doengoes 1999, hal. 1024).
3) Dokumentasikan masukan oral slama 24 ja, riwayat makanan, jumlah kalori dengan tepat.
R/: Mengidentifikasikan ketidakseimbangan antara perkiraan kebutuhan nutrisi dan masukan aktual (Doengoes 1999, hal. 1024).
4) Berikan larutan nutrisi pada kecepatan yang dianjurkan melalui alat kontrol infus sesuai kebutuhan. Atur kecepatan pemberian setiap jam sesuai anjuran. Jangan meningkatkan kecepatan untuk “mencapai”.
R/: Ketentuan dukungan nutrisi didasarkan pada perkiraan kebutuhan kalori dan protein. Kecepatan konisten dari pemberian nutrisi akan menjamin penggunaan tepat dengan efek samping lebih sedikit, seperti hiperglikemia/sindrom dumping. Infus secara umum lebih baik ditoleransi dari pada pemberian makan bolus dan mengakibatkan perbaikan absorvasi (Doengoes 1999, hal. 1024).
5) Pertahankan retensi selang pemberian makan enteral dengan membilas air hangat, sesuai indikasi.
R/: Formula enteral mengandung protein yang menghambat selang pemberian makan (silikon) mungkin daripada selang poliuretan yang memerlukan pembuangan/pergantian selang (Doengoes 1999, hal. 1024).
c. Untuk diagnosa no. c
Tujuan: Memperbaiki keseimbangan cairan
Ktiteria: Menunjukkan keseimbangan cairan dibuktikkan dengan parameter individual yang tepat, mis., membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, TTV stabil.
Intervensi:
d. Untuk diagnosa no. d
Tujuan: Adanya peningkatan toleransi aktivitas
Kriteria: Melaporkan/menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi:
1) Evalusi respon terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan TTV selama dan aktivitas.
R/: Menetapkan kemampuan/kebutuhan klien dan memudahkan pilihan intervensi (Doengoes 1999, hal. 170).
2) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
R/: Menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat (Doengoes 1999, hal. 1024).
3) Bantu klien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan tidur.
R/: Klien mungkun nyaman dengan kepala tinggi (Doengoes 1999, hal. 1024).
4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
R/: Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai oksigen (Doengoes 1999, hal. 1024).
e. Untuk diagnosa no. e
Tujuan: memahami penyakit/prognosis
Kriteria: Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan intervensi.
Intervensi:
1) Jelaskan proses penyakit individu. Dorong orang terdekat menanyakan pertanyaan.
R/: Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan (Doengoes 1999, hal. ).
2) Tekankan pentingnya perawatan oral.
R/: Menurunkan pertumbuhan bakteri pada mulut, dimana dapat menimbulkan infeksi pernapasan atas (Doengoes 1999, hal. ).
3) Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernapasan aktif. Tekankan perlunya vaksinasi, influenza/pnemokokal rutin.
R/: Menurunkan pemajanan dan insiden mendapatkan infeksi saluran napas atas dan bawah (Doengoes 1999, hal. ).

4. Pelaksanaan
Menurut (Nursalam, 2001, hal. 62) dikutip dari Iyer et all., 1996, ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan, yaitu:
a. Tahap periapan, yang menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan.
b. Tahap intervensi, adalah kegiatan pelaksanaan dari perencanaan yang meliputi kegiatan independen (mandiri), dependen (pelaksanaan dari tindakan medis) dan interdependen (kerjasama dengan tim kesehatan lain).
c. Tahap dokumentasi, adalah pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap kejadian dalam proses keperawatan.
Dalam melakukan asuhan keperawatan klien Sindrom Down yang perlu diperhatikan adalah ventilasi dan oksigen adekuat, masukan nutrisi adekuat, memperbaiki keseimbangan cairan, meningkatkan toleransi aktivitas, memahami prognosis penyakit (Doengoes, 1999, hal. 166-172,1024, ).
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, perawat harus mampu bekerja sama dengan klien, keluarga serta anggota tim kesehatan yang lain sehingga asuhan yang diberikan dapat optimal dan komprehensif.

5. Evaluasi
Evaluasi dan penilaian asuahn keperawatan adalah untuk mengetahui keberhasilan atas tindakan yang akan dilaksanakan. Ada empat kemungkinan yang akan terjadi yaitu masalah dapat diatasi, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi, atau mungakin timbul masalah baru(Nuarasalam, 2001,hal 73)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar