Senin, 14 Juni 2010

ASKEP GASTROENTERITIS

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep dasar medis
1. Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan.
Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses Pencernaan (pengunyahan, penelanan dan percampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.
(Syaifuddin, 1996, hal 87).
Saluran pencernaan terdiri dari: mulut, faring, osofagus, lambung, usus halus, usus besar, rectum, anus.
a). Anatomi mulut (oris)
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas dua bagian yaitu:
1) Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir dan pipi.
2) Bagian rongga mulut/bagian dalam, yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis disebelah belakang bersambung dengan faring.
a) Kelenjar parotis
b) Kelenjar submaksilaris
c) Kelenjar sublingualis (Syaifuddin, 1996, hal.88).
b) Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan (osofagus), di dalam lengkungan faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosis dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Disini terletak bersimpangan antara jalan napas dan jalan makanan ( Syaifuddin, 1996, hal 88).
c) Osofagus.
Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya kurang lebih 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak dibawah lambung (Syaifuddin, 1996, hal 89).
d) Lambung
Bagian lambung terdiri dari:
1) Fundus Ventrikuli
2) Korpus ventrikuli
3) Antrum Pilorus
4) Kurvatura Minor
5) Kurvatura Mayor
6) Osteum Kardiakum.
Susunan lapisan dari dalam keluar terdiri dari: lapisan selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot miring, lapisan otot panjang, dan lapisan jaringan ikat/serosa.
Fungsi lambung terdiri dari:
1) Makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung.
2) Getah cerna lambung yang dihasilkan:
a) Pepsin fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton).
b) Asam garam (HCL) fungsinya: mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan, dan membuat Suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin.
c) Renin fungsinya, sebagai ragi membekukan susu dan membentuk kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
d) Lapisan lambung, jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang merangsang sekresi getah lambung (syaifuddin, 1996, hal 91).
e) Usus Halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang dalam keadaan hidup dan merupakan saluran pencernaan diantara lambung dan usus besar. Usus halus panjang, tube yang berliku-liku yang memenuhi sebagian rongga abdomen.
Usus halus terdiri dari duodenum, yeyenum dan ileum.
1) Duodenum
adalah tube yang berbentuk huruf C dengan panjang kira-kira 25 cm, pada bagian belakang abdomen, melengkung melingkari pancreas.
Duodenum di gambarkan kedalam 4 bagian:
Bagian I : menjalar kearah kanan
Bagian II : menjalar kearah bawah
Bagian III : menjalar kearah tranversal kiri dan disebelah depan vena kava inferior dan aorta.
Bagian IV : menjalar kearah atas untuk selanjutnya bergabung dengan yeyenum (Gibson John, 1995, hal 163).
Bagian kanan duodenum terdapat selaput lendir yang membukit disebut papilla vateri, pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pancreas (duktus wirsungi/duktus pankreatikus). Empedu di buat di hati untuk dikeluarkan keduodenum melalui duktus koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase. Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar-kelenjar brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum (Syaifuddin, 1996, hal 91).
2) Yeyenum dan Ileum
Yeyenum merupakan bagian pertama dan ileum merupakan bagian kedua dari saluran usus halus. Semua bagian usus tersebut mempunyai panjang yang bervariasi dari 300 cm sampai 900 cm (Gibson John, 1995, hal 164).
Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesentrika suporior, pembuluh limfe dan saraf keruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.
Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium Ileoseckalis. Orifisium ini diperkuat oleh spinter ileuseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula Baukini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asendens tidak masuk kembali keadaan ileum (Syaifuddin, 1996, hal 91).
Fungsi usus halus adalah:
a) Mensekresi cairan usus.
b) Menerima cairan empedu dan pancreas.
c) Mencerna makanan.
d) Mengabsorbsi air, garam dan vitamin.
e) Menggerakkan kandungan kandungan usus sepanjang usus oleh kontraksi segmental pendek dan gelombang cepat yang menggerakkan kandungan usus sepanjang usus menjadi lebih cepat.
f. Usus Besar.
Usus besar mempunyai panjang kurang lebih 1,5 meter dengan lebar 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar adalah:
1) Selaput lendir
2) Lapisan otot melingkar.
3) Lapisan otot penampang.
4) Jaringan ikat.
Fungsi usus besar, terdiri dari menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri koli dan tempat feses (Syaifuddin, 1996, hal 92).
Adapun bagian-bagian dari usus besar adalah sebagai berikut:
1. Seikum
Di bawah seikum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cincin sehingga disebut umbai cacing, dengan panjang 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum, mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mensentrium dan dapat diraba melalui dinding abdomen. (Syaifuddin, 1996, hal 92).
2. Colon Asenden
Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kalon membujur keatas dari ileum kebawah hati. Dibawah hati membengkok kekiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica dan dilanjutkan sebagian kolon transversum (Syaifuddin, 1996, hal 92).
3. Apendiks
Bagian usus besar yang muncul seperti corong dari akhir seikum, mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus (Syaifuddin, 1996, hal 92).
4. Colon Transversum
Panjangnya kurang lebih 38 cm, membujur dari kolon asendes sampai kekolon desendens berada dibawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksula lienalis (Syaifuddin, 1996, hal 92).
5. Colon Desendens
Panjangnya kurang lebih 25 cm, terletak dibawah abdomen bagian kiri membujur dari atas kebawah dari fleksura lienalis sampai kedepan ileum kiri, bersambung dengan colon sigmoid (Syaifuddin, 1996, hal 92).
6. Colon Sigmoid
Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan dengan rectum (Syaifuddin, 1996, hal 92).
7. Rektum
Terletak dibawah colon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvic didepan oscracum dan oscogcigis (Syaifuddin, 1996, hal 92).
8. Anus
Adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rectum dengan dunia luar. Terletak didasar pelvik, dindingnya diperkuat oleh tiga spincter:
a) Spincter Ani Internus, bekerja tidak menurut kehendak.
b) Spincter Levator Ani, bekerja tidak menurut kehendak.
c) Spincter Ani Eksternus, bekerja menurut kehendak (Syaifuddin, 1996, hal 92).

1. Definisi
a. Gastroentritis adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan / tanpa darah dan /atau lendir dalam tinja (Suhariyono, 2003).
b. Gastroentiris akut adalah defekasi yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Mansyoer Arief, et al., 1999, hal. 470).
c. Diare adalah perubahan tiba-tiba dalam frekuensi dan kualitas defekasi (Sandra M.Nettina, 2001, hal 123).
d. Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3 kali/hari) serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gram/hari) dan konsistensi feses cair (Smeltzer dan Bare, 2001, hal 1093)
e. Gastroenteritis adalah radang dari lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah (muntah berak) (capital selekta.edisi 3.1999)
f. Diare adalah defekasi yang tidak normal, baik frekuensi maupun konsiistensinya.frekuensi diare lebih dari 4X/hr (capital selekta,edisi 3.1999).

2. Etiologi
Gastroenteritis dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu (penggantian hormon tiroid, pelunak feses dan laksatif, antibiotik, kemoterapi, dan antasida), selain itu semua gastroenteritis dapat juga disebabkan oleh:
a. Faktor infeksi
1) Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut:
i. Infeksi bakteri: vibria, E.Coli, salmonella, shigella, compylobacter, yersiria, aeromonas dan sebagainya.
ii. Infeksi virus: Enterovirus, (virus Echo, Coxsackie, Poliomielitis) Adenovirus, Rofavirus, Astrovirus, Trichuris, Oxyuris, strongy loides, Protozoa, (Entomoeba histolyfica, giardia, lamblia, Trichomonas hominis), jamur (candida albicans).
2) Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), Tonsillitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, pemberian makanan perselang, gangguan metabolic dan endokrin (Diabetes, Addison, Tirotoksikosis) serta proses infeksi virus/bakteri (disentri, shigellosis, keracunan makanan).

b. Faktor Malabsorbsi
- Mal absrobsi karbohidrat: disakarida, (Intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa): monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang tersering intoleransi laktosa)
- Mal absorbsi lemak
- Mal absorbsi protein.
c. Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.

d. faktor psikologis
rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar) (Ngastriyah, 1997, hal 144).
e. Malnutrisi
f. Gangguan imunologi

3. Patofisiologi Gastroenteritis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya gastroenteritis ialah:
a. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik meninggi dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul gastroenteritis.
b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul gastroenteritis karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
c. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul gastroenteritis. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul pula gasteoenteritis. Berdasarkan cairan yang hilang tingkat dehidrasi terbagi menjadi:
1). Dehidrasi ringan, jika kekurangan cairan 5% atau 25 ml/kg/bb.
2). Dehidrasi sedang, jika kekurangan cairan 5-10% atau 75 ml/kg/bb.
3). Dehidrasi berat, jika kekurangan cairan 10-15% atau 125 ml/kg/bb. (Ngastiyah, 1997, hal 144).

Gastroenteritis dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri secara langsung atau oleh efek dari nurotoxin yang diproduksi oleh bakteria. Infeksi ini menimbulkan peningkatan produksi air dan garam ke dalam lumen usus dan juga peningkatan motilitas, yang menyebabkan sejumlah besar makanan yang tidak dicerna dan cairan dikeluarkan. Dengan gastroenteritis yang hebat, sejumlah besar cairan dan elektrolit dapat hilang, menimbulkan dehidrasi, hyponatremi dan hipokalemia (Long, 1996).
Selain itu juga gastroenteritis yang akut maupun yang kronik dapat meyebabkan gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran bertambah), hipoglikamik, dan gangguan sirkulasi darah (Ngastiyah, 1997, hal 144).




4. Tanda dan gejala
Menurut Mansyoer Arief (2000), tanda dan gejala gastroenteritis atau diare adalah:
a. Mula-mula bayi atau anak cengeng, gelisah.
b. Suhu badan mungkin meningkat.
c. Nafsu makan berkurang atau tidak ada.
d. Diare.
e. Feses cair dengan darah atau lendir.
f. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur empedu.
g. Anus dan sekitarnya lecet karena tinja menjadi asam.
h. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare.
i. Dehidrasi, bila banyak cairan keluar mempunyai tanda-tanda ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit menurun, selaput lendir mulut dan bibir kering.
j. Berat badan turun.
5. Pemeriksaan Diagnosa
Menurut Mansyoer Arief (2000), pemeriksaan diagnostik pada klien gastroenteritis adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan tinja
1). Makroskopis dan mikroskopis.
2). Biarkan kumanuntuk mencari kuman penyebab.
3). Tes resistensi terhadap berbagai antibiotik (pada diare persisten).
4). PH dan kadar gula jika diduga ada toleransi gula (sugar Intolerance).
b. Pemeriksaan darah
1). Darah perifer lengkap.
2). Analisis gas darah dan elektrolit (terutama Na,K, Ca dan P serum pada diare yang disertai kejang).
3). PH dan cadangan alkali untuk menentukan gangguan keseimbangan asam basa.
4). Kadar uream dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal.
c. Duodenal intubation
Untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik.
6. Penatalaksanaan
Menurut Mansyoer Arief (2000), penatalaksanaan gastroenteritis adalah terdiri dari:
i. Simtomatis
1). Terapi rehidrasi
Tujuan terapi rehidrasi untuk mengoreksi kekurangan cairan dan elektrolit secara cepat kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya berhenti dengan cara memberikan oralit, cairan infus yaitu Ringer Laktat, Dekstrose 5%. Dekstrosa dalam salin, dll.
2). Antispasmodik, Antikolinergik (Antagonis stimulus kolinergik pada reseptor muskarinik), contoh obat: Papaperin.
3). Obat anti diare:
a). Obat anti motilitas dan sekresi usus (Loperamid).
b). Oktreotid (Sondostatin) sudah dicoba dengan hasil memuaskan pad
diare sklerotik.
c). Obat antidiare yang mengeraskan tinja dan absorbsi zat toksik yaitu: Norit 1-2 tablet diulang sesuai kebutuhan.
4). Antiemetik (metoclopramid).
5). Vitamin dan mineral, tergantung kebutuhan yaitu vitamin B1, asam folat.
6). Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare
untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi.
b. Kausal
Pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun non infeksi, pada kasus kronik dengan penyebab infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya.

7. Komplikasi
Menurut Ngastiyah ( 1997), akibat yang ditimbulkan gastroenteritis atau diare adalah:
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan elektrokardiogram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktosa.
f. Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi protein, (akibat muntah dan diare, jika lama atau kronik).

B. Konsep Dasar Keperawatan
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai pendekatan problem solving (pemecahan masalah) yang memerlukan ilmu, tehnik dan ketrampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien atau keluarga dengan memberikan asuhan keperawatannya sesuai dengan lima tahap proses keperawatan, yaitu: pengkajian, perumusan diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Nursalam, 2001).
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber dan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data dengan cara anamnesa yang diperoleh dengan wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta mempelajari status klien.
Ada dua tipe data pada pengkajian yaitu: data subjektif dan data objektif.
Data subjektif adalah data yang diperoleh dari keluhan yang dirasakan pasien atau keluarga. Data objektid adalah data yang diperoleh dari data pengukuran, pemeriksaan dan pengamatan (Ali, 2002, hal 74).
Setelah pengumpulan data langkah berikutnya dalam pengkajian adalah pengelompokan data yang terdiri atas data fisiologis, psikologis, social dan spiritual (PPNI, 1994). Pengelompokan data akan memudahkan perawatan dalam menegakkan masalah keperawatan klien.
Untuk kasus gastroenteritis, pengkajian yang dilakukan meliputi:
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tanggal lahir, nama orang tua, pekerjaan dan pendidikan.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Penyakit yang pernah diderita, apakah sebelumnya pernah menderita gastroenteritis atau penyakit lain, kebiasaan hidup, riawayat alergi dan lain-lain.
c. Riwayat kesehatan saat sakit
1). Keluhan utama: Keluhan yang sering ditemukan adalah BAB encer lebih dari empat kali sehari, warna feses kuning kehijauan, hijau, bentuk mukoid dan mengandung darah.
2). Riwayat perjalanan penyakit: beberapa lama penyakit diderita, hal-hal yang meringankan dan memperberat penyakit.
3). Upaya yang dilakukan untuk mengatasi keluhan.
d. Riwayat kehamilan dan persalinan ibu
Kehamilan dengan gawat janin, diabetes mellitus, malnutrisi, intrauteri, infeksi intra-natal, persalinan dengan ada komplikasi, persalinan dengan tindakan karena ada komplikasi, penolong persalinan (Sacharin, 1996).
e. Riwayat penyakit keluarga
Ada riwayat penyakit gastroenteritis
f. Riwayat alergi juga penting karena dapat juga menjadi indicator
penyakit terutama obat.
g. Riwayat pemberian imunisasi
Imunisasi lengkap atau tidak (Sastroasmoro, 1996).
h. Pengkajian fisik
1. Tanda-tanda vital: tekanan darah menurun akibat ketidakseimbangan cairan elektrolit, suhu meningkat, nadi cepat, lemah, respirasi meningkat akibat asidosis metabolic.
2. Keadaan penyakit
Penyakit akut bila tidak segera ditangani dapat mengakibatkan dehidrasi yang ditandai depresi fontanel anterior, mata cekung, turgor kulit buruk, selaput lendir kering, tidak ada air mata bila menangis, sehingga klien dapat jatuh kedalam syok hipovolemik dan dapat meyebabkan kematian.
3. Keadaan umum klien
Mula-mula jatuh pada dehidrasi ringan yang apabila tidak segera diatasi maka akan jatuh pada dehidrasi sedang dan berat, yang diawali kelemahan fisik.
4. Sistem integumen
Eksoriasi bokong akibat tinja asam, turgor kulit baik dan bila jatuh pada tahap dehidrasi berat maka turgor kulit buruk.
5. Sistem hemotologi
Hiponatremia atau hipernatremia akibat kekurangan natrium, hipokalemia atau hiperkalemia akibat kekurangan kalium, asidosis metabolic.

6. Sistem pernapasan
Respiratori meningkat akibat adanya asidosis metabolic apabila jatuh pada dehidrasi berat.
7. Sistem gastrointestinal
Nyeri atau kram abdomen, dehidrasi abdomen, hiperperistaltik usus.
i. Pola fungsi kesehatan
Pola fungsi kesehatan dapat di kaji melalui pola Gordon dimana pendekatan ini memungkinkan perawat untuk mengumpulkan data secara sistematis dengan cara
mengevaluasi pola fungsi kesehatan dan memfokuskan pengkajian fisik pada masalah khusus.
j. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Kaji persepsi keluarga terhadap kesehatan dan upaya-upaya keluarga untuk mempertahankan kesehatan. Termasuk juga penyakit anak sekarang ini dan upaya yang diharapkan.
k. Pola nutrisi metabolik
Kaji pola nutrisi anak dan bagaimana dengan pemberian ASI. Klien mengalami gangguan nafsu makan, mual, muntah dan diare.
l. Pola eliminasi
Kaji pola eliminasi feses dan urin, berapa frekuensinya dan bagaimana sifatnya, BAB lebih empat kali sehari, BAK tak terkaji, berat jenis urine tinggi, oliguria.
m. Pola istirahat-tidur
Gangguan tidur biasanya disebabkan oleh badan panas atau demam, BAB yang sering.
n. Pola kognitif perseptual
Pola ini sulit dan tak bisa dikaji/dilakukan
o. Pola peran hubungan
Kaji siapa yang mengasuh bayi. Klien sering digendong karena rewel.
p. Pola aktivitas dan latihan
Kaji tingkat perkembangan atau tumbuh kembang sesuai dengan usia.
q. Pola reproduksi
Tidak bisa di kaji pada bayi, tapi dapat dilihat dari cara orang tua memperlakukan anaknya sesuai dengan jenis kelamin (pakaian, alat permainan).
r. Pola koping dan toleransi terhadap stress.
Untuk mengkaji pola ini sulit karena bahasa untuk bayi tidak dimengerti (menangis).
s. Pola keyakinan
Kajian tentang pola keyakinan ini lebih banyak pada bagian bagaimana pola keyakinan orang tua klien.

2. Diagnosa keperawatan
Gastroenteritis mungkin menyebabkan interaksi fungsi normal dari system tubuh yang dipengaruhi. Berdasarkan data pengkajian diagnosa keperawatan pasien yang utama yang berhubungan dengan gastroenteritis meliputi: sesuai teori, bukan askep
b. Risiko terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasase feses yang sering dan kurangnya asupan cairan.
b. Risiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pasase feses yang sering atau encer (Smeltzer dan Bare, 2001, hal.1094)
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan makanan tak adekuat.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang mengenal informasi tentang kondisi ( Doenges, 2000, hal 426).
e. Perubahan pola eliminasi Bab, diare berhubungan dengan proses infeksi pada saluran cerna.
f. Perubahan ketidak nyamanan yang berhubungan dengan kram abdomen, diare, dan muntah sekunder terhadap dilatasi vaskuler dan hiperperistaltik.

3. Perencanaan
Dalam menentukan perencanaan perlu menyusun suatu system untuk menentukan diagnosa yang akan diambil tindakan pertama kali. Salah satu system yang bisa digunakan adalah hirarki kebutuhan manusia “ Fyer et al, 1996 “ ( Nursalam, 2001, hal 52 ). Perencanaan meliputi pengembangan strategi untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang akan diidentifikasi pada diagnosa kutipan dari Fiyer, taptik dan bernocehi, 1996 ( Nursalam, 2001, hal 51), dalam pengaturan prioritas, perencanaan ada dua hirarki yang bisa digunakan:
1). Hirarki Maslow
Maslow menjelaskan kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap: fisiologi, rasa aman dan nyaman, sosial, harga diri dan aktualitas diri. Dia mengatakan bahwa klien memerlukan suatu tahapan kebutuhan. Jika klien menghendaki suatu tindakan yang memuaskan. Dengan kata lain kebutuhan fisiologis biasanya sebagai prioritas utama bagi klien dari pada kebutuhan lain
( Nursalam, 2001, hal 52).
Dimana Maslow menggambarkan dengan skema piramida yang menunjukkan bagaimana seseorang bergerak dari pemenuhan kebutuhan dasar dari tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dengan tujuan akhir adalah fungsi dan kesehatan manusia yang terintergrasi.



Keterangan:
a). Kebutuhan fisiologis O2, Co2, Elektrolik, makanan, sex .
b). Kebutuhan keselamatan dan keamanan, terhindar dari penyakit, pencuri dan perlindungan hokum.
c). Mencintai dan dicintai : kasih sayang, mencintai, dicintai, diterima kelompok.
d). Harga diri: dihargai dan menghargai (Respek dan toleransi).
e). Aktualisasi diri: ingin diakui, berhasil dan menonjol
( Smeltzer and Bare, 2002, hal 14)

2). Hirarki “ kalish”
Kalish 1983, lebih menjelaskan kebutuhan Maslow dengan membagi kebutuhan fisiologi menjadi kebutuhan untuk “bertahan dan stimulasi”. Kalish mengidentifikasi kebutuhan untuk mempertahankan hidup: udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri, jika terjadi kekurangan kebutuhan tersebut, klien cenderung menggunakan prasarana untuk memuaskan kebutuhan tertentu, hanya saja mereka akan mempertimbangkan terlebih dahulu kebutuhan yang paling tinggi prioritasnya, misalnya keamanan dan harga diri. Di kutif dari Iyer, el al, 1996 (Nursalam, 2001, hal 53)
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien dengan gastroenteritis maka rencana keperawatan yang dapat dirumuskan adalah:
1). Risiko terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasase feses yang sering dan kurangnya asupan cairan.
Tujuan: volume cairan seimbang.
Kriteria hasil: - BAB tidak lebih dari satu kali perhari.
- Intake dan out put seimbang.
- Turgor kulit baik.
- Mata tidak cekung.
Intervensi:
a). Kaji adanya dehidrasi (penurunan turgor kulit, tacikardi, nadi lemah, penurunan natrium serum, haus).
Rasional: keseimbangan cairan sulit di pertahankan selama episode akut. Karena feses di dorong melalui usus terlalu cepat untuk memungkinkan absorbsi air; haluaran melebihi asupan
b). Mencatat intake dan output.
Rasional: Mengetahui kesimbangan antara intake dan output klien dan mengetahui banyak pergantian cairan yang di perlukan.
c). Timbang berat badan setiap hari.
Rasional: sebagai indikasi dalam pemenuhan cairan dan nutrisi.
d). Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
Rasional: memperbaiki kehilangan cairan.
(Smeltzer and Bare, 2002, hal 1095).
2). Risiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pasase feses yang sering atau encer.
Tujuan: menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa konplikasi.
Kriteria evaluasi: menunjukkan prilaku orang tua untuk mempertahankan kulit halus, kenyal dan utuh.
Intervensi:
a). Observasi kemerahan, pucat, ekskoriasi.
Rasional: Area ini meningkat risikonya untuk kerusakan dan memerlukan pengobatan lebih intensif.
b). Gunakan krim kulit dua kali sehari dan setelah mandi.
Rasional: melicinkan kulit dan menurunkan gatal.
c). Tekankan pentingnya masukan nutrisi atau cairan adekuat.
Rasional: perbaiki nutrisi dan hidrasi akan memperbaiki kondisi kulit.
d). Dorong mandi dua hari satu kali, pengganti mandi tiap hari.
Rasional: sering mandi menyebabkan kekeringan kulit.
(Doenges, 2000, hal 434).
3). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan makanan tak adekuat.
Tujuan: kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi .
Kriteria hasil: dapat menghabiskan porsi makanan yang di hidangkan.
Intervensi:
a). Kaji dan catat masukan oral klien.
Rasional: mengetahui perkembangan nafsu makan klien dan memantau peningkatan masukan oral.
b). berikan klien makan dengan diet lunak, diet dengan porsi kecil tapi sering.
Rasional: mencegah kekosongan lambung yang dapat mengiritasi lambung .
(Doenges, 2002, hal 426).
4). Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang mengenal informasi tentang kondisi.
Tujuan: keluarga memahami proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria hasil: - keluarga mengerti tentang penyakit dan pengobatan.
- keluarga berpartisipasi dalam pengobatan dan perawatan.
Intervensi:
a). Tentukan persepsi keluarga tentang proses penyakit.
Rasional: mengetahui tingkat pengetahuan dasar tentang proses penyakit dan pengobatan.
b). Kaji ulang proses penyakit, penyebab yang menimbulkan gejala.
Rasional: pengetahuan dasar yang akurat memberikan kesempatan keluarga untuk membuat keputusan tentang penyakitnya.
c). Kaji ulang obat, tujuan, frekwensi, dosis dan kemungkinan efek samping.
Rasional: memungkinkan pemahaman dan dapat meningkatkan kerja sama dalam program.
d). Tekankan pentingnya perawatan kulit seperti tehnik. Cuci tangan yang bersih dan perawatan perineal.
Rasional: Menurunkan penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit
(Doenges, 2002, hal 435).

5). Perubahan pola eliminasi Bab: diare berhubungan dengan proses infeksi pada saluran cerna.
Tujuan : Pola eliminasi kembali normal.
Kirteria hasil: BAB tidak lebih dari satu kali perhari, intake dan output seimbang, konsistensi feses lembek.
Rencana tindakan:
a). Kaji dan catat frekwensi BAB, karakteristik feses dan faktor pencetus.
Rasional: Mengetahui penyebab diare dan menentukan tindakan selanjutnya.
b). Berikan istirahat yang cukup bagi klien.
Rasional: Membantu menurunkan mobilitas usus dan menurunkan metabolisme bila ada infeksi.
c). Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Melalui tanda-tanda vital dapat diketahui perubahan suhu, nadi, tekanan darah dan pernapasan yang abnormal atau kemungkinan terjadinya pre syok atau syok.
d). Berikan oral yang adekuat, porsi kecil tapi sering.
Rasional: Mempertahankan kondisi tubuh klien dan mencegah kekosongan lambung.
e). Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Mengobati sufuratif lokal.
6). Perubahan ketidaknyaman yang berhubungan dengan kram abdomen, diare, dan muntah sekunder terhadap dilatasi vaskuler dan hiperperistaltik.
Tujuan: Rasa ketidaknyaman berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil:
- Klien tidak rewel atau gelisah
- Hiperperistaltik dan diare sudah tidak ada lagi.
Rencana tindakan:
a). Baringkan klien dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas abdomen.
Rasional: Tindakan ini meningkatkan relaksasi otot GI dan mengurangi kram.
b). Berikan masukan cairan sedikit tapi sering.
Rasional: Cairan dalam jumlah yang kecil tidak akan mendesak area gastrik dengan demikian tidak memperberat gejala.
c). Lindungi daerah perianal dari iritasi.
Rasional: Sering BAB dengan peningkatan keasaman dapat mengiritasi kulit perianal (Carpenito, 1999, hal.190).
4. Pelaksanaan
Iyer (1996) mengatakan bahwa pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Pelaksanaan atau implementasi merupakan aflikasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus kita perhatikan ketika akan melakukan implementasi adalah intervensi yang dilakukan sesuai dengan rencana. Setelah dilakukan validasi, pengasahan ketrampilan interpersonal, intelektual dan psikologi individu. Terakhir melakukan pendokumentasian keperawatan berupa mencatatan dan pelaporan (Nursalam, 2001).
Tahap ini merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh karena itu pelaksanaannya dimulai setelah rencana tindakan dirumuskan dan mengacu pada rencana tindakan sesuai skala sangat urgen, urgen dan tidak urgen atau non urgen.
Dalam pelaksanaan tindakkan ada tiga fase yang harus dilalui yaitu: persiapan, perencanaan, dan dokumentasi (Griffith, 1986), berikut penjelasannya:
a. Fase persiapan meliputi:
1). Revieuw antisipasi tindakan keperawatan.
2). Menganalisa pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan.
3). Mengetahui komplikasi yang mungkin timbul.
4).Persiapan alat.
5). Persiapan lingkungan yang konduksif.
6). Mengidentifikasi aspek hukum dan etik.


b. Fase intervensi terdiri atas:
1). Independen: tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tim kesehatan lain.
2). Interdependen: tindakan perawat yang memerlukan kerjasama dengan tim kesehatan lain (gizi, dokter, laboratorium, dll).
3). Dependen: berhubungan dengan tindakan medis atau menandakan dimana tindakan medis di laksanakan.
c. Fase dokumentasi merupakan suatu catatan lengkap dan akurat dari tindakan yang telah dilaksanakan. Dalam pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan pada klien gastroenteritis perawat berperan sebagai pelaksana keperawatan, pemberi support, pendidik, advokasi, konselor dan pencatatan atau penghimpun data.

5.Evaluasi
Evaluasi adalah suatu yang direncanakan dan dibandingkan yang sistematis pada status kesehatan klien ( Griffith dan Christensen, 1986).
Sedangkan Ignatavicius dan Bayne (1994) mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses perawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Evaluasi terdiri atas dua jenis yaitu: evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif disebut juga sebagai evaluasi proses, evaluasi jangka pendek atau evaluasi berjalan, dimana evaluasi dilakukan sampai tujuan tercapai. Sedangkan evaluasi sumatif bisa disebut juga evaluasi hasil, evaluasi akhir, evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan pada akhir tindakan keperawatan paripurna dan menjadi suatu metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format SOAP (Nursalam, 2001).
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam hal ini penilaian yang diharapkan pada klien dengan gastroenteritis adalah:
a. Konsistensi feses normal.
b. Klien atau bayi tidak lagi rewel.
c. Turgor kulit baik.
d. Gangguan keseimbangan cairan tubuh teratasi.

6.Perencanaan pulang (Dischange Planning)
Pada klien dengan gastroenteritis perlu adanya penyuluhan tentang cara-cara mencegah terjadinya diare yaitu tidak mengkonsumsi makanan yang basi, mencuci sayur dan makanan sebelum dimasak, minum air yang sudah dimasak, serta tidak boleh jajan di sembarang tempat (warung di pinggir jalan), dan cuci tangan sebelum makan makanan yang kita makan.

Bila klien mengalami diare yang berat hendaknya cepat kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Jika mengalami komplikasi hendaknya berobat teratur dan cek ulang secara teratur pula.

ASKEP HEPATITIS

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep dasar medis
1. Anatomi dan fisiologi
a. Hati
Hati terletak di belakang tulang-tulang iga ( Kosta ) dalam rongga abdomen daerah atas. Hati memiliki berat sekitar 1.500 gr di bagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil disebut lobus. ( Smeltzer & Bare, 2001, ed 8 vol 2, hal. 1150 ).
b. Fungsi hati
Hati adalah pabrik kimia terbesar dalam tubuh. Hati memiliki suplai darah yang besar ( 1-1 ½ Liter per menit ) yang di terima melalui :
1) Vena porta, yang membawa produk pencernaan dari saluran cerna.
2) Arteri hepatica, yang membawa O2 yang dibutuhkan oleh hati
Fungsi hati meliputi :
- Mengubah zat makanan yang diasorbsi dari usus halus dan yang disimpan di suatu tempat dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam jaringan.
- Mengubah zat buangan dalam bahan beracun untuk disekresikan dalam empedu dan urine
- Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen
- Sekresi empedu
- Pembentukan ureum
- Menyimpan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.
c. Fungsi metabolik hati
1). Metabolisme Glukosa
Glukosa yang diambil dari vena portal disimpan dan diubah dalam hepatosit sebagai cadangan energi. Pada saat diperlukan glukogen diubah menjadi glukosa dan dilepaskan kedalam aliran darah untuk mempertahankan kadar glukosa normal.
2). Konversi Amonia
Amonia merupakan hasil samping dari proses glukoneogenesis dengan penggunaan asam amino.
3). Metabolisme Lemak
Asam lemak dapat dipecah oleh hati untuk memproduksi energi dan badan keton yang dapat masuk aliran darah dan menjadi sumber energi bagi otot dan jaringan tubuh. Pemecah asam lemak terjadi pada kondisi seperti kelaparan dan diabetes tidak terkontrol.
4). Metabolisme Protein
Hati mensintesis hampir seluruh plasma protein. Vitamin K diperlukan hati untuk mensintesis protombin dan sebagian faktor pembekuan lain.
5). Menyimpan Vitamin dan zat besi
Vitamin A, D dan beberapa vitamin b kompleks serta besi dan tembaga disimpan didalam hati.
6). Pembentukan empedu
Secara kontinyu hepatosit membentuk empedu dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandungan empedu untuk kemudian dialirkan kedalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan.
7). Ekskresi bilirubin
Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah, melalui reaksi kimia mengubahnya menjadi asam glukoronat lewat konjugasi sehingga lebih dapat larut dalam larutan encer.
8). Metabolisme obat dalam hati meliputi proses konjugasi akibat tersebut dengan sejumlah senyawa seperti asam glukoronat untuk membentuk substansi yang lebih larut sehimgga dapat diekskresikan kedalam feses atau urine seperti ekskresi bilirubin
(Smeltzer dan Bare (2001), edisi 8 vol 2, hal.1152 )

2. Pengertian
a) Hepatitis adalah inflamai hati yang dapat terjadi karena invasi bakteri,
cedera oleh agen fisik atau kimia (non-verbal) atau infeksi virus (Hepatitis
A,B,C,D,E.). (Doenges, 1999, hal 534).
b) Istilah Hepatitis dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati (liver Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat- obatan termasuk obat tradisional (www.chom.is-try.org/-41k).

3. Etiologi
a. Bakteri serta virus hepatitis
b. Toksin/racun
c. Obat-obatan
d. Malnutrisi
e. Alkohol

4. Patofisiologi
Disfungsi hati terjadi akibat kerusakan pada sel-sel parenkim hati. Proses perjalanan penyakit yang berkembang menjadi disfungsi hepatoseluler seperti bakteri serta virus, obat-obatan dan defisiensi nutrisi.
Sel hati bereaksi terhadap unsur-unsur yang paling toksik melalui glikogen lipid sehingga terjadi infiltrasi lemak. Metabolisme abnormal menyebabkan penurunan konsentrasi albumin serum dan edema.
Hepatitis B terutama ditularkan melalui darah (Jalur perkutan dan permuosa). Virus tersebut pernah ditemukan dalam darah, saliva, secret vagina, dan dapat ditularkan melalui membrane mukosa serta luka pada kulit.
Hepatitis memiliki massa inkubasi yang panjang (1 sampai 6 bulan).Virus hepatitis mengadakan replikasi dalam hati dan tetap berada dalam serum selama periode yang relative lama sehingga memungkinkan penularan virus tersebut. Gejala dan tanda hepatitis B dapat samaran dan bervariasi. Klien dengan hepatitis B dapat mengalami atralgia dan ruam, penurunan selera, makan, dyspepsia, nyeri abdomen, pegal-pegal menyeluruh, tidak ene badan dan lemah.gejala ikterus dapat terlihat atau kadang-kadang tidak nampak.

PATOFLODIAGRAM




5. Manifestasi klinis
a. Penurunan selera makan, anoreksia
b. Dyspepsia, nyeri tekan abdomen, nyeri tekan pada hepar
c. Pegal-pegal yang menyeluruh, tidak enak badan dan lemah
d. Ikterus, tinja berwarna cerah dan urine berwarna gelap
e. Hati dan limfa membesar
( Smeltzer & Bare (2001), ed 8 vol 2, hal 1174 ).

6. Pemeriksaan diagnostic
a. Tes fungsi hati : Abnormal (4 – 10 kali)
b. SGOT/SGPT : Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1 – 2 minggu
sebelum ikterik, kemudian tampak menurun.
c. Darah lengkap : SDM menurun berhubungan dengan penurunan hidup
SDM/mengakibatkan perdarahan
d. Leucopenia : Trombositopenia mungkin ada
e. Feses : Warna tanah liat.
f. Albumin serum : Menurun
g. Gula darah : Hiperglikemia transient/hipoglikemi.
h. HBsAg : Dapat positif (tipe B)/negatif (tife A)
i. Masa protrombin : Mungkin memanjang
j. Urinalisa : peningkatan kadar bilirubin
( Doenges, 1999. hal 535 ).

7. Penatalaksanaan
a. Tirah baring
b. Nutrisi yang adekuat, diare rendah protein
c. Masa pemulihan, pengembalian aktivitas fisik
d. Tidak mengkonsumsi alcohol
e. Melindungi individu yang berisiko tinggi

8. Komplikasi
a. Nekrosis sel hati
Nekrosis diikuti oleh regenerasi dari jaringan hepar, tetapi tidak dalam cara yang normal. Jaringan fibrosa yang terbentuk merusak bentuk normal lobule hepar. Perubahan fibrosa yang terbentuk merusak bentuk normal lobule hepar.
b. Kegagalan hati Fulminan
Gagal hati fulminan ditandai oleh ensefalopati hepatic yang terjadi dalam waktu beberapa minggu sesudah dimulainya penyakit pada pasien yang tidak terbukti menunjukan riwayat disfungsi hati.
Hepatitis virus merupakan penyebab gagal hati fulminan yang paling sering ditemukan. Penyebab lainnya mencakup obat-obatan toksik dan zat-zat kimia, gangguan metabolic dan perubahan struktur hati.


B. Konsep dasar keperawatan
Ilmu keperawatan didasarkan pada teori yang sangat luas. Proses keperawtan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek keperawatan. Hal ini disebut sebagai suatu pendekatan problem-solving yang memerlukan ilmu, tekhnik, dan keterampilan intrapersonal dan ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga. Proses keperawatan terdiri dari : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data sebagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasikan status kesehatan klien ( Nursalam, 2001, hal. 1 ). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan Asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Setelah dilakukan pengkajian data kemudian dikumpulkan dan terdiri dari 2 tipe data yaitu :
a. Data subjektif, data yang didapat dari klien sendiri sebagai salah satu pendapat terhadap situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat
ditentukan oleh perawat secara independen tetapi melalui interaksi atau komunikasi.(Nursalam dikutip dari et-al,1996,2001,hal.19).
b. Data objektif, data yang dapat diobservasi dan diukur
( Nursalam dikutip dari Iyer et. al, 1996, 2001, hal. 19).
Untuk kasus hepatitis pada klien pengkajian yang dilakukan menurut Doenges (1999), hal 533
a. Makan/cairan
Gejala :hilang nafsu makan (anoreksia), penurunan berat badan atau meningkat (edema) mual/muntah.
Tanda : Asites
b. Sirkulasi
Tanda : bradikardi (hiperbilirubinemia berat), ikterik pada sclera
c. Eliminasi
Gejala urine gelap, diare/konstipasi.
d. Neurosensori
Tanda : peka rangsang, cenderung tidur, letargi, asteriksis
e. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : kram abdomen, nyeri tekan pada kuadran kanan atas, mialgia, artrolgia, sakit kepala, gatal.
Tanda : otot tegang, gelisah
f. Pernafasan
Gejala : tidak minat/enggan merokon (perokok)
g. Keamanan
Gejala : adanya transusi darah/produk darah
Tanda : demam, urtikasia, lesi makulopopuler, splenomegali.
h. Seksualitas
Gejala : pola hidup/perilaku meniingkat resiko terpajan

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasikan, memfokuskan dan mangatasi kebutuhan spesifik klien serta respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi. ( Doenges, 1999, hal. 8 ).
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dan individu atau kelompok perawat secara pasti untuk menjaga, membatasi, mencegah dan mengubah status kesehatan. (Nursalam, 2001. hal. 35 ).
Ada dua contoh Hirarki yang digunakan untuk menentukan prioritas masalah, yaitu :
a. Hirarki maslow.
Maslow (1976) menjelaskan kebutuhan dasar manusia di bagi lima, yaitu: fisiologi, rasa aman dan nyaman, mencintai dan dicintai, harga diri dan aktualisasi diri. Kebutuhan fisiologi biasanya sebagai prioritas utama bagi dan dari kebutuhan lainnya. (Sumber ; Nursalam, 2001, hal.52).

Gambar skema hirarki kebutuhan manusia menurut maslow.

Keterangan :
1) Kebutuhan fisiologis.
Contoh : udara, air, makanan, elektrolit.
2) Kebutuhan keselamatan dan keamanan.
Contoh : terhindar dari penyakit, pencurian dan perlindungan hukum.
3) Kebutuhan rasa memiliki dan afeksi.
Contoh : mendambakan kasih sayang, ingin mencintai dan dicintai, diterima oleh kelompok.
4) Kebutuhan harga diri dan hormat diri.
Contoh : dihargai dan menghargai, respon dari orang lain, toleransi dalam hidup berdampingan.
5) Kebutuhan aktualisasi diri.
Contoh : pemenuhan diri, hasrat untuk mengetahui dan memahami kebutuhan estetik, ingin di akui, berhasil dan menonjol dari orang lain.
(Sumber : Smeltzer dan Bare (2001), edisi 8 vol 2, hal.14).
b. Hirarki Kalish.
Kalish 91983) lebih jauh menjelaskan kebutuhan Maslow dengan berbagai kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup, yaitu udara, air, temperature, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri.
(Nursalam 2001 h-53) Dikutip dari Iyer et.al 1996.
Adapun diangnosa yang muncul pada klien dengan hepatitis adalah:
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum dan gangguan rasa nyaman (Doenges, 1999)
b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah (Doenges,1999).
c. Resiko tinggi transmisi infeksi berhubungan dengan sifat dapat menular agen virus (Capernito,1999)
d. Kurang pengetahuan mengenai proses penyakit berhubungan dengan kurang inormasi. (Doenges,1999).

3. Perencanaan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain masalah untuk mencegah. Mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasikan pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan mengumpulkan rencana dokumentasi. (Nursalam dikutip dari Iyer, Tap tich dan Bernocchi-Losey, 1996).
Langkah-langkah perencanaan untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan, maka ada beberapa komponen yang perlu di perhatikan, yaitu :
a. Menentukan prioritas
b. Menentukan criteria hasil
c. Menentukan rencana tindakan
d. Dokumentasi
(Sumber : Nursalam, 2001, hal.52).
Adapun perencanaan dari tiap-tiap diagnosa yang sudah ditetapkan adalah ;
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum dan gangguan rasa nyaman
Tujuan :
Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas
Kriteria :
- Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan klien
- Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan kembali melakukan aktivitas
Intervensi :
1. Tingkatkan tirah baring/duduk
Rasional: meningkakan istirahat dan ketenangan
2. Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
Rasional : meningkatkan fungsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan
3. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan latihan gerak sendi pasif/aktif
Rasional : tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan.
4. Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati
Rasional : menunjukan kurangnya resolusi/ekaserbasi penyakit, memerlukan istirahat lanjut, menganti program terapi (Doenges,1999,hal.534)

b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah.
Tujuan :
Perbaikan status nutrisi
Kriteria :
- Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat
- Menunjukan peningkatan berat badan
Intervensi :
1 Awasi pemasukan diet/jumlah kalori
Rasional : makan banyak sulit untuk mengatur bila klien anoreksia
2 Berikan perawatan mulut sebelum makan
Rasional : menghilangkan rasa tak enak dapat meningkatkan nafsu makan
3 Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
Rasional : menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan
4 Dorong pemasukan sari jeruk, minuman karbonat dan permen sepanjang hari
Rasional : bahan ini merupakan ekstra kalori dan dapat lebih mudah dicerna (Doenges,1999,hal.534)

c. Resiko tinggi transmisi infeksi berhubungan dengan sifat dapat menular agen virus
Tujuan :
Mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi
Kriteria :
Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tampa komplikasi
Intervensi :
1 Pantau tanda-tanda vital dengan ketat khususnya selama awal terapi
Rasional : selama periode waktu ini, potensial komplikasi fatal dapat terjadi.
2 Tunjukan/dorong teknik mencuci tangan yang baik
Rasional : efektif berarti menurunkan penyebaran/ tambahan infeksi
3 Batasi pengunjung sesuai indikasi
Rasional : menurunkan pemejanan terhadap pathogen infeksi lain.
4 Lakukan isolasi pencegahan sesuai individual
Rasional : tergantung pada tipe infeksi, respon terhadap antibiotic, kesehatan umum pasien, dan terjadinya komplikasi, teknik isolasi mungkin diperlukan untuk mencegah penyebaran (Doenges,1999,hal 169)

d. Kurang pengetahuan mengenai proses penyakit berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan :
Klien mengerti tentang proses penyakit dan pengobatan
Kriteria :
- Menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan
- Melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi pada pengobatan
Intervensi :
1. Kaji tingkat pemahaman proses penyakit, harapan/ prognosis,
kemungkinan pilihan pengobatan
Rasional : Mengidentifikasi area kekurangan pengetahuan/ salah
informasi dan memberikan kesempatan untuk memberikan informasi tambahan sesuai keperluan
2. Berikan informasi khusus tentang pencegahan/penularan penyakit
Rasional : Kebutuhan akan bervariasi karena tipe hepatitis
3. Bantu klien mengidentifikasi aktivitas pengalih
Rasional : Aktifitas yang dapat dinikmati akan membantu klien
menghindari pemusatan pada penyembuhan panjang
4. Diskusikan efek samping dan bahaya obat yang dijual bebas
Rasional : Beberapa obat merupakan toksik untuk hati (Doenges,1999,hal 535)

4. Pelakasanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik “dikutip dari Iyer et-al., 1996” (Nursalam, 2001, hal.63). Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping(Nursalam, 2001, hal.63).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai (Nursalam,2001,hal.71). Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan (Nursalam, 2001, hal.71).
Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian, yaitu evaluasi formatif yang disebut juga evaluasi yang dilaksanakan secara terus menerus terhadap tindakan yang telah dilakukan. Sedangkan evaluasi sumatif yang disebut juga evaluasi akhir tindakan yang dilakukan dan menggambarkan perkembangan dalam mencapai tindakan yang dilakukan dan menggambarkan perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Bentuk evaluasi ini lazim menggunakan format “SOAP”. (Iyer,et-al,1996, Dalam Dokumentasi Nursalam).

6. Perencanaan pulang
a. Jelaskan kepada klien dan keluarga mengenai tanda gejala serta komplikasi yang mungkin timbul
b. Jelaskan kepada klien dan keluarga mengenai penyebaran virus hepatitis B dan cara melindungi diri dari virus hepetitis B
c. Dorong keluarga untuk memberikan dukungan yang positif selama proses penyembuhan
d. Pengobatan lanjut di rumah
e. Rencanakan kontrol ulang untuk mengetahui kemajuan dalam pengobatan

ASKEP DHF

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Pengertian
a. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina (Christantie.E, 1995).
b. Dengue Hemorrhagic Fever adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengangejala utama demam, nyeri otot dan sendi. (Mansjoer, Arif et al, 2001).

2. Etiologi
Penyebab DHF disebabkan oleh virus dengan sejenis yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina.

3. Perubahan Hematologi Pada Infeksi Dengue
Infeksi sekunder virus dengue menyebabkan terjadinya perubahan yang kompleks dan unik pada berbagai mekanisme homeostatis dalam tubuh penderita antara lain.
a. Hematokrit dan Hemoglobin
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga, dari perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). Peningkatan hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang sering terjadi akibat kebocoran plasma keruang ekstravaskuler disertai dengan efusi cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang yang dapat menyebabkan terjadinya syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Pada kasus-kasus yang berat yang telah disertai perdarahan, umumnya nilai hematokrit tidak meningkat, bahkan malah menurun. Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada Dengue Hemorrhagic Fever (DHF).
b. Trombosit
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan oleh WHO sebagai diagnosis klinis penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). Jumlah trombosit biasanya normal selama 3 hari pertama. Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan mencapai titik terendah pada fase syok.
Penyebab trombositopenia pada DHF masih kontroversial, sebagian peneliti mengatakan kemungkinan penyebabnya adalah trombopolosis yang menurun dan destruksi trombosit dalam darah yang meningkat. Peneliti lain menemukan adanya gangguan fungsi trombosit. Mekanisme yang menyebabkan peningkatan destruksi dan gangguan fungsi trombosit belum diketahui dengan jelas. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh sistem retikloendotel khususnya dalam limfa dan hati.
c. Leukosit
Pada penderita DHF dapat terjadi leukopenia ringan sampai leukositosis sedang. Leukopenia dapat dijumpai antara hari pertama dan ketiga dengan hitung jenis yang masih dalam batas normal. Jumlah granolosit menurun pada hari ketiga sampai hari kedelapan. Pada syok berat dapat dijumpai leukositosis dengan neutropenia absolut.
Hal lain yang menarik adalah ditemukannya cukup banyak (20-50%) limfosit bentranformasi atau atifik dalam sediaan apus darah tepi penderita DHF terutama pada infeksi sekunder. Limfosit atifik ini merupakan sel berinti satu (mononuler) dengan struktur kromatin inti halus dan agak padat, serta sitoplasma yang relatif lebar dan berwarna biru tua, oleh karenanya sel ini juga dikenal sebagai limfosit plasma biru. Limfosit plasma biru ini sudah dapat ditemukan sejak hari ketiga terjadinya panas, dan merupakan penunjang diagnosis DHF.
d. Sistem Koagulasi, fibrinolisis, kirin dan komplemen.
Sistem koagulasi disusun oleh faktor-faktor koagulasi berupa protein inaktif yang beredar dalam darah, apabila terjadi aktivasi normal ataupun abnormal, faktor koagulasi akan diaktifkan secara beruntun, mengikuti suatu dekade yang diawali dengan aktifasi faktor XII mulai dari sedikit kemudian malah lama makin banyak sehingga aklhirnya terbentuk fibrin. Kompleks virus pada DHF ternyata dapat juga mengaktifkan sistem ini.

4. Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelaianan yang mungkin muncul pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limfa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permealitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma keruang ekstra seluler dibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritonium, pleuera dan perikardium. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi akan terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain kematian dari DHF adalah perdarahan hebat, perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis erbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati iyang fungsinya memang terbukti terganggu oleh aktifasi sistem koagulasi.
Masalah terjadi DIC pada DHF/DSS, terutama pada pasien yang perdarahan hebat.



5. Kasifikasi DHF
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
a) Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, panas 2-7 hari, uji tourniguet positif, trombositopenia dan hemokonsentrasi.
b) Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekhimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi
c) Derajat III
Ditandai dengan gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat, tekanan nadi sempit, tekanan darah menurun
d) Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur (denyut jantung ≥ 140x/menit), anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

6. Tanda dan Gejala
Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat penyakitnya, tanda dan gejala lain adalah :
 Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat dengan reaksi perabaan
 Acites
 Cairan dalam rongga pleura (kanan)
 Ensephalitis: kejang, gelisah, sopor koma.

7. Pemeriksaan dan Diagnosis
 Trombositopenia (≤ 100.000/mm3).
 Hb dan PCU meningkat (≤ 20 %).
 Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis)
 Isolasi virus
 Serologi (uji H): respon anti bodi sekunder.
 Pada renjatan yang berat, periksa: Hb, PCU berulang kali (setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukan tanda perbaikan), faal hemostasis, FDP, EKG, foto dada, creatinin serum.

8. Penatalaksanaan
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue : panas 1-2 hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang) atau kejang-kejang, panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniguet positif/negatif, kesan sakit keras (tidak mau bermain), Hb dan PCV meningkat, panas disertai perdarahan dan panas disertai renjatan.
a) Grade I dan II : belum atau tanpa rejatan
 Oral ad libitum
 Infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 cc/kg BB/ hari untuk anak dengan BB <10kg> dari 80 MmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander (dekstran L atau yang lainnya) sebanyak 10 ml/kg BB/ 1jam dan dapat diulang maksimal 30 ml/kg BB/ dalam kurun waktu 24 jam.
 Jika keadaan umum membaik dilanjutkan cairan RL sebanyak kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.


B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival klien dan dalam aspek preventative, pemeliharaan dan rehabilitatif perawatan kesehatan. Untuk itu samapai pada hal ini, profesi keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan massalah yang menggabungkan elemen yang paling relevasi dari sistem teori dengan menggunakan metode ilmiah . dalam melakukan asuhan keperawatan terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh, langkah tersebut adalah:

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyer, et al, 1996). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat, lengkap sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu, sebagaimana yang telah ditentukan dalam standar praktek keperawatan ANA (American Nursing Association). Empat tahap pengkajian yaitu : pengumpulan data, validasi data, pengorganisasian data dan identifikasi masalah atau analisa masalah (La odo Junaidi Gaffar, S.Kp, 1999). Untuk klien dengan DHF pada pengkajian didapat data-data sebagai berikut :
a) Identitas
DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (betina). (Christanti, 1995).
b) Keluhan Utama
c) Riwayat Penyakit Sekarang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
e) Riwayat Penyakit Keluarga
f) Riwayat Kesehatan Lingkungan
g) Riwayat Tumbuh Kembang
h) Pengkajian Persistem

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurun, membatasi, mencegah dan merubah (carpenito, 2000, dikutip dari ”Nursalam, 2001”). Diagnosa Keperawatan yang muncul pada klien dengan DHF adalah:
a. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) b.d proses penyakit (viremia)
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi :kurang dari kebutuhan tubuh b.d, mual, muntah anorexia, dan sakit saat menelan.
c. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, pengobatan dan pencegahan b.d kurang informasi.
d. Gangguan aktivitas sehari-hari b.d kelemahan fisik.
e. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d mekanisme patologis (proses penyakit).
f. Resti terjadinya perdarahan lebih lanjut b.d trombositopenia.
g. Resti terjadi syok hipovolemik b.d perdarahan hebat.

3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, langkah berikutnya adalah menentukan perencanaan keperawatan meliputi pengembngan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan mengoreksi masalah-masalah yang teridentifikasi pada diagnosa keperawatan, dimana tahapan ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan mengumpulkan rencana dokumen (Iyer, Taptich dan Bennocchi Losey, 1996 dikutip dari ”Nursalam, 2001”).
Tahapan dalam menentukan perencanaan ini meliputi menentukan prioritas, kriteria hasil, rencana tindakan dan pendokumentasian (nursalam, 2001). Terdapat tiga rencana tindakan dalam tahap rencana tindakan yaitu rencana tindakan perawat, rencana tindakan pelimpahan (medis dan tim kesehatan lainnya) dan program medis. Untuk klien yang dalam pelksanaannya dibantu oleh perawat (Carpenito, 2000). Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan DHF, maka rencana keperawatan yang dapat dirumuskan antara lain :
a. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) b.d proses penyakit (viremia)
Tujuan:
Suhu tubuh dalam batas normal.
Kriteria hasil :
Suhu tubuh 36.5-37.5oC

Intervensi
1. Mengkaji saat timbulnya demam.
Rasional:
Untuk mengidentifikasi pola demam klien. (Christantie, E, 1995 h.29)
2. Mengobservasi tanda-tanda vital.
Rasional:
Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum klien. (Christantie, E, 1995 h.29)
3. Memberikan penjelasan tentang penyebab demam.
Rasional:
Penjelasan tentang kondisi yang dialami klien dapat membantu keluarga mengurangi kecemasan.(Christantie, E, 1995 h.29)
4. Menganjurkan klien untuk banyak minum 2500cc/hari.
Rasional:
Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.(Christantie, E, 1995 h.29)

b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah, anorexia, dan sakit saat menelan.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
Klien mampu menghabiskan makanan sesuai porsi yang diberikan.
Intervensi :
1. Mengkaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah yang dialami klien.
Rasional :
Untuk menetapkan cara mengatasinya (Christantie, E, 1995, h 30)
2. Mengkaji cara/bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional :
Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan. (Christantie, E, 1995, h 30)
3. Memberikan makanan yang mudah ditelan.
Rasional :
Membantu mengurangi keluhan klien dan meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan (Christantie, E, 1995, h 30)
4. Memberikan makanan porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional :
Untuk menghindari mual dan muntah (Christantie, E, 1995, h 30)

c. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet,perawatan, pengobatan dan pencegahan b.d kurang informasi.
Tujuan :
Pengetahuan keluarga meningkat.
Kriteria hasil :
Mampu menjawab waktu ditanya tentang proses penyakit.
Intervensi :
1. Mengkaji tingkat pengetahuan.
Rasional :
Untuk mengetahui sejauh mana informasi tentang penyakit yang diketahui serta kebenaran informasi yang didapatkan sebelumnya.(Christiantie, E, 1995, h 33)
2. Mengkaji latar belakang pendidikan keluarga.
Rasional :
Agar perawat dapat memberikan penjelasan sesuai tingkat pendidikan sehingga dipahami dan tujuan yang direncanakan tercapai. (Christiantie, E, 1995, h 30)
3. Menjelaskan tentang proses penyakit dengan sederhana.
Rasional :
Agar informasi dapat diterima dan mudah dimengerti.
(Christiantie, E, 1995, h 33)
4. Menggunakan leaflet atau gambar dalam memberikan penjelasan.
Rasional :
Dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan (Christiantie, E, 1995, h 33)

d. Gangguan aktivitas sehari-hari b.d kelemahan fisik.
Tujuan :
Kebutuhan aktivitas terpenuhi.
Kriteria hasil :
Klien mampu mandiri setelah bebas demam.
Intervensi :
1. Mengkaji keluhan klien.
Rasional :
Untuk mengidentifikasimasalah-masalah klien.
(Christiantie, E, 1995, h 36)
2. Mengkaji hal-hal yang mampu/tidak mampu dilakukan klien.
Rasional :
Untuk mengetahui tingkat ketergantungan..
(Christiantie, E, 1995, h 36)
3. Membantu klien memenuhi kebutuhan sesuai tingkat kemampuan.
Rasional :
Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh klien pada saat saat kondisi lemah dan perawat bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
(Christiantie, E, 1995, h 36)
4. Memberi penjelasan tentang hal-hal yang dapat membantu dan meningkatkan kekuatan fisik.
Rasional :
Dengan penjelasan yang diberikan kepada klien, maka klien termotivasi untuk kooperatif, seperti mau menghabiskan makanan yang disediakan.
(Christiantie, E, 1995, h 36)

e. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d mekanisme patologis.(proses penyakit)
Tujuan :
Nyeri berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil :
Wajah tampak rileks, skala nyeri 0-1
Intervensi :
1. Mengkaji tingkat nyeri.
Rasional :
Untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami klien.
(Christiantie, E, 1995, h 38)
2. Memberikan posisi yang nyaman dan ruangan yang tenang.
Rasional :
Respon individu berbeda terhadap nyeri.
(Christiantie, E, 1995, h 38)
3. Melakukan distraksi.
Rasional :
Untuk mengurangi rasa nyeri.
(Christiantie, E, 1995, h 38)
4. Memberikan obat-obat analgesik kolaborasi dengan medis.
Rasional :
Dapat menekan atau mengurangi nyeri.
(Christiantie, E, 1995, h 38)

f. Resti terjadinya perdarahan lebih lanjut b.d trombositopenia.
Tujuan :
Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan.
Kriteria hasil :
Trombosit meningkat.
Intervensi :
1. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit.
Rasional :
Penurunan tanda-tanda trombosit merupakan tanda-tanda ada kebocoran pem buluh darah yang pada tahap tertentu akan menimbulkan tanda-tanda klinis nyeri
(Christiantie, E, 1995, h 38)
2. Menjelaskan tentang pengaruh trombositopenia pada klien.
Rasional :
Agar keluarga mengetahui hal-hal yang mungkin terjadi pada klien
(Christiantie, E, 1995, h 38)
3. Memonitor jumlah trombosit
Rasional :
Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah.
(Christiantie, E, 1995, h 38)
4. Menganjurkan klien banyak istirahat.
Rasional :
Mengajukan klien banyak tidur. (Christiantie, E, 1995, h 38)

g. Resti terjadi syok hipovolemik b.d perdarahan hebat.
Tujuan :
Tidak terjadi syok.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital dalam batas normal. (sesuai umur)

Intervensi :
1. Monitor keadaan umum klien.
Rasional :
Untuk mengetahui kondisi klien selama masa perawatan.
(Christiantie, E, 1995, h 38)
2. Monitor tanda-tanda vital.
Rasional :
Tanda-tanda vital normal menandakan keadaan umum klien baik.
(Christiantie, E, 1995, h 38)
3. Monitor tanda-tanda perdarahan.
Rasional :
Perdarahan yang cepat diketahui dapat diatasi sehingga klien tidak sampai syok. (Christiantie, E, 1995, h 38)
4. Pasang infus dan beri terapi cairan.
Untuk mengatasi cairan yang hilang. (Christiantie, E, 1995, h 38)

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Nursalam 2001) tahap ini merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan oleh karena itu pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan dirumuskan sesuai skala urgent dan non urgent.
Dalam pelaksanaan tindakan ada tiga yang harus dilalui yaitu : persiapan, perencanaan, dan pendokumentasian ( Nursalam 2001)
a) Fase persiapan meliputi
1) Review antisipasi tindakan keperawatan
2) Menganalisa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
3) Mengetahui komplikasi yang mungkin timbul
4) Persiapan alat
5) Persiapan lingkungan yang kondusif
6) Mengidentifikasi aspek hukum dan etik

b) Fase implementasi
1) Independen
2) Interdependen
3) Dependen

c) Fase dokumentasi
Merupakan suatu catatan lengkap dan akurat dari tindakan yang telah dilaksanakan dalam pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan pada klien dengan bronkopneumonia perawat dapat berperan sebagai pelaksana keperawatan, memberi support, pendidikan, advokasi dan pencatatan.

5. Evaluasi
Adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis pada status kesehatan klien (Nursalam 2001) evaluasi terdiri dari dua jenis yaitu evalusi formatif atau evaluasi jangka pendek dimana evaluasi ini dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan akhir. Sedangkan evaluasi sumatif ini disebut evaluasi akhir atau jangka panjang, dimana evaluasi dilakukan pada akhir tindakan keperawatan. Sistem penulisan pada tahap evaluasi ini umumnya menggunakan sistem SOAP (Nursalam 2001 hal 74)

6. Perencanaan Pulang
a. Kondisi, prognosis, dan pencegahan dipahami.
b. Anjurkan klien dan keluarga lebih menjaga kesehatan dirumah dengan melaksanakan 3 M.
c. Keluarga dan klien mengetahui tanda-tanda komplikasi seperti perdarahan.

ASKEP HERNIA

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medis

1. Pengertian
a. Hernia adalah menonjolnya suatu organ atau struktur organ dari tempatnya yang normal melalui sebuah defek congenital atau yang didapat (Barbara C.Long, hal 246).
b. Hernia adalah suatu alat dalam (viskus) atau bagiannya keluar dari pembungkusnya, sehingga merupakan keadaan abnormal (David Oxedof, 1995, hal 60).
c. Hernia adalah ptotrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (Sjamsuhidayat, 1995, hal 700).
d. Hernia Inguinalis lateralis (indirek) ialah hernia yang melalui anulus inguinalis internus yang terletak disebelah lateral vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan keluar ke rongga perut melalui anulus inguinalis eksternus (Kapita Selekta, 1982, hal 353).

2. Klasifikasi Hernia
a. Menurut lokalisasi
1) Hernia Inguinalis
- Indirek: batang usus melewati cincin abdomen dan mengikuti saluran sperma masuk ke dalam kanalis inguinalis.
- Direk: batang usus melewati dinding inguinalis bagian posterior.
2) Hernia Diafragma
Hernia yang melalui diafragma.
3) Hernia Umbilikal
Batang usus melewati cincin umbilikal.

4) Hernia Femoralis
Batang usus melewati femoral ke bawah ke dalam kanalis femoralis.
5) Hernia Scrotalis
Batang usus yang masuk ke dalam kantong skrotum.
b. Hernia insisi menurut sifatnya
1) Hernia Reponibel
Isi hernia dapat keluar masuk, usus keluar jika mengedan, dan masuk jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri/gejala.
2) Hernia Ireponibel
Kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga, ini disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritonial.
3) Hernia Inkaserada/Hernia Stragulata
Isi hernia terjepit oleh cincin hernia/terperangkap, tidak dapat kembali ke dalam rongga perut.

3. Anatomi Fisiologi
Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut sampai anus. Struktur pencernaan adalah:
a. Mulut
Mulut merupakan permulaan saluran pencernaan, selaput lendir mulut ditutup epithelium yang berlapis-lapis. Dibawahnya terletak kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini kaya akan pembuluh darah dan memuat ujung akhir saraf sensoris didalam rongga mulut.
b. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dan kerongkongan (esofagus). Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan
kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak persimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan hidung.
c. Esofagus/Kerongkongan
Esofagus merupakan saluran pencernaan yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya 25cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak dibawah lambung.
d. Gaster/Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama di daerah spingter. Lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri berhubungan dengan osofagus melalui orifisium pilorik, terletak dibawah diafragma didepan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.
e. Usus halus
Merupakan bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal dari pilorus dan berakhir pada sekum, panjangnya ± 6 meter, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan.
Usus halus dibagi tiga bagian, yaitu:
1) Duodenum/Usus 12 jari, panjang ± 25cm berbentuk seperti tapal kuda melengkung kekiri, bagian kanan duodenum terdapat selaput lendir yang disebut papilla vateri, disini terdapat muara saluran empedu dan saluran pankreas. Empedu dibuat dihati untuk dikeluarkan di duodenum melalui duktus koleduktus yang fungsinya mengemulsikan lemak dengan bantuan lipase. Pankreas menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino atau albumin dan polipeptida.
2) Yeyunum/Jejunum
Terletak di regio abdominalis media sebelah kiri dengan panjang ± 2-3 meter.
3) Ileum, terletak di regio abdominalis bawah dengan panjang ± 4-5 meter, lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantara lipatan peritonium yang berbentuk kipas atau yang dikenal sebagai mesenterium.
f. Usus besar/Intestinum mayor
Panjangnya 1,5m, lebarnya ± 5-6cm. Bagian-bagian usus besar yaitu kolon asenden panjangnya 13cm, apendik (usus buntu), kolon tranversum panjangnya ± 38cm, kolon desenden panjangnya ± 25cm, kolon sigmoid, anus
g. Peritonium (selaput perut)
Peritonium terdiri dari dua bagian yaitu: peritonium parietal yang melapisi dinding rongga abdomen dan peritonium viseral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen.
Fungsi peritonium:
1) Menutupi sebagian dari rongga abdomen dan pelvis.
2) Membentuk pembatas yang halus sehingga organ yang ada dalam rongga peritonium tidak saling bergesekan.
3) Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen.
4) Kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.

4. Etiologi
Penyebab Hernia Inguinalis yaitu:
a. Kongenital/cacat bawaan
Sejak kecil sudah ada, prosesnya terjadi intrauteri, berupa kegagalan perkembangan.
b. Herediter (kelainan dalam keturunan)
c. Umur (hernia dijumpai pada semua umur)
d. Jenis kelamin
Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
e. Didapat, seperti mengedan terlalu kuat, mengangkat barang-barang yang berat.

5. Patofisiologi
Hernia adalah potrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (R. Sjamsuhidjat, 1997). Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena yang didapat (mengangkat beban berat, ngedan), hernia dapat terjadi pada semua umur, lebih banyak pada pria dari wanita.
Faktor yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus vaginalis yang terbuka, dan kelemahan otot dinding perut karena usia.
Proses turunnya testis mengikuti prosesus vaginalis. Pada neonatus kurang lebih 90% prosesus vaginalis tetap terbuka sedangkan pada bayi umur satu tahun sekiar 30% prosesus vaginalis belum tertutup. Tetapi kejadian hernia pada umur ini hanya beberapa persen. Tidak sampai 10% anak dengan prosesus vaginalis paten menderita hernia. Pada anak dengan hernia unilateral dapat dijumpai prosesus vaginalis paten kontralateral lebih dari separo, sedangkan insidens hernia tidak melebihi 20%. Umumnya disimpulkan bahwa adanya prosesus vaginalis yang paten bukan merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia tetapi diperlukan faktor lain seperti anulus ingunalis yang cukup besar.
Tekanan intraabdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi, dan asites sering disertai hernia ingunalis.
Insidens hernia meningkat dengan bertambahnya umur mungkin karena meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intraabdomen dan jaringan penunjang berkurang kekuatannya.
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak tunggu dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya bila otot dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus kedalam kanalis inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n.ilioinguinalis dan n.iliofemoralis setelah apendektomi.
Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai skrotum disebut hernia skrotalis. Hernia ini disebut lateralis karena menonjol dari perut lateral pembuluh epigastrika inferior. Disebut indirek karena keluar melalui dua pintu dan saluran yaitu anulus dan kanalis inguinalis; berbeda dengan hernia medialis yang langsung menonjol melalui segitiga Hesselbach dan disebut sebagai hernia direk. Pada pemeriksaan hernia lateralis, akan tampak tonjolan berbentuk lonjong sedangkan hernia medial berbentuk tonjolan bulat.
Pada bayi dan anak, hernia lateralis disebabkan oleh kelainan bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritonium sebagai akibat proses penurunan testis ke skrotum. Hernia geser dapat terjadi disebelah kanan atau kiri. Sebelah kanan isi hernia biasanya terdiri dari sekum dan sebagian kolon asendens, sedangkan sebelah kirinya terdiri dari sebagian kolon desendens.
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha yang timbul pada waktu mengedan, batuk, atau mengangkat beban berat, dan menghilang waktu istirahat baring. Pada bayi dan anak-anak adanya benjolan yang hilang timbul di lipat paha biasanya diketahui oleh orang tua. Jika hernia mengganggu dan anak atau bayi sering gelisah, banyak menangis, dan kadang-kadang perut kembung, harus dipikirkan kemungkinan hernia strangulata (R. Sjamsuhidajat, 1997).



6. Tanda dan Gejala
a. Berupa benjolan keluar masuk/keras
b. Adanya rasa nyeri pada daerah benjolan
c. Terdapat gejala mual dan muntah atau distensi bila telah ada komplikasi
a. Terdapat keluhan kencing berupa disuria pada hernia femoralis yang berisi kandung kencing

7. Pemeriksaan Diagnostik
Dalam menegakkan diagnostik pada penderita hernia dapat dilakukan:
a. Pemeriksaan fisik, pasien diminta untuk mengejan dengan menutup mulut dalam keadaan berdiri bila ada hernia maka akan tampak benjolan.
b. Bila sudah ada benjolan dapat diperiksa dengan cara meminta pasien untuk berbaring bernafas dengan mulut untuk mengurangi tekanan intra abdominan, lalu scrotum diangkat perlahan-lahan.
c. Limfadenopati inguinal. Perhatikan apakah ada infeksi pada kaki sesisi.

8. Pengobatan dan Perawatan
a. Secara konservatif (non operatif)
1) Reposisi hernia
Hernia dikembalikan pada tempat semula bisa langsung dengan tangan.
2) Penggunaan alat penyangga dapat dipakai sebagai pengelolaan sementara, misalnya pemakaian korset.
b. Secara operatif
1) Hernioplasty
Memindahkan fasia pada dinding perut yang lemah, hernioplasty sering dilakukan pada anak-anak
2) Hernioraphy
Pada bedah elektif, kanalis dibuka, isi hernia dimasukkan kantong diikat, dan dilakukan basiny plasty atau tehnik yang lain untuk memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Ini sering dilakukan pada orang dewasa.
3) Herniotomy
Seluruh hernia dipotong dan diangkat lalu dibuang. Ini dilakukan pada klien dengan hernia yang sudah nekrosis.
Perawatan untuk post operasi
a. Hindari penyakit yang mungkin terjadi yaitu: Perdarahan, Syok, Muntah, Distensi, Kedinginan, Infeksi, Dekubitus, Sulit buang air kecil.
b. Observasi keadaan klien.
c. Cek TTV.
d. Cuci luka dan ganti balutan operasi sesuai pesanan dokter.
e. Perhatikan drainase.
f. Penuhi nutrisi.
g. Mobilisasi diri
- Perawatan tidur dengan sikap Fowler (sudut 450-600).
- Hari kedua boleh duduk (untuk herniotomi hari ke-5).
- Hari ketiga boleh jalan (untuk herniotomi hari ke-7).
h. Diet
- Hari 0: Bila pengaruh obat anestesi hilang boleh diberi minum sedikit-sedikit
- Hari 1: Diet Vloiher (herniotomi diet sama dengan post laparatomi)
- Hari 2: Diet bubur saring
- Hari 3: Berturut-turut diet ditingkatkan.

9. Komplikasi
a. Terjadi perlengketan dengan isi hernia dengan dinding kantong hernia, sehingga isi hernia tidak dapat dimasukkan kembali
b. Obstruksi usus
c. Gangguan perfusi jaringan
d. Perforasi
e. Nekrosis isi hernia dan kantong hernia akan berisi transudat berupa cairan serosanguinus
f. Nyeri hebat ditempat hernia


B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian
Tahap ini merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dan menentukan hasil dari tahap berikutnya. Pengkajian dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan data, identifikasi dan evaulasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Untuk kasus hernia pengkajian data dasar (Lemone & Burke, 1996), meliputi:
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Data subjektif:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
2) Kaji riwayat penyakit yang pernah dialami klien sebelumnya.
3) Apa upaya untuk mempertahankankesehatan dan mencegah penyakit.
4) Apa yang dilakukan klien bila mengalami gangguan kesehatan.
Data objektif:
1) Observasi penampilan dan keadaan fisik klien
2) Kaji kebutuhan klien dan kebutuhan ADL sehari-hari

b. Pola nutrisi metabolik
Data subjektif:
1). Tanyakan makanan dan minuman sehari-hari dalam 24 jam.
2). Kaji makanan kesukaan atau yang tidak disukai klien.
3). Kaji adanya gangguan menelan, mual, dan muntah.
4). Apakah ada alergi atau pantangan terhadap suatu makanan?
5). Tanyakan frekuensi makan dan jumlah makanan yang mampu dihabiskan.
Data objektif:
1). Observasi dan kaji nilai laboratorium.
2). Timbang berat badan dan catat hasilnya.

c. Pola eliminasi
Data subjektif:
1). Tanyakan kebiasaan buang air besar, teratur atau tidak, frekuensinya dalam sehari, warna dan konsistensinya, adakah sulit saat membuang air besar dan bagaimana klien mengatasinya.
2). Kaji frekuensi buang air kecil, apakah sering menahan kencing?
Data objektif:
1). Observasi dan catat intake dan output setiap shift.

d. Pola aktivitas dan latihan.
Data subjektif:
1). Kaji tingkat aktivitas klien setiap hari.
2). Tanyakan adanya keluhan lemah, nyeri untuk beraktivitas.
Data objektif:
1). Observasi tingkat aktivitas klien.
2). Kaji kemampuan memenuhi kebutuhan ADL.

e. Pola tidur dan istirahat
Data subjektif:
1). Tanyakan jumlah tidur semalam.
2). Tanyakan kebiasaan dan jumlah tidur pada siang hari.
3). Tanyakan kebiasaan sebelum tidur.
4). Adakah kesulitan untuk tidur.

Data objektif:
1). Observasi keadaan lingkungan yang dapat mengganggu istirahat klien.
2). Kaji faktor intrinsik individu yang dapat mengganggu istirahat klien.

f. Pola peran sosial
Data subjektif:
1). Tanyakan apakah penyakit ini mempengaruhi klien dan keluarga.
2). Tanyakan apakah hubungan klien dengan keluarga, teman akan mengalami perubahan.
Data objektif:
1). Kaji interaksi klien dengan pasien disebelah kiri, kanan dan dengan tenaga perawat dan dokter.

g. Persepsi diri-konsep diri
Data subjektif:
1). Tanyakan pada klien bagaimana perasaannya terhadap gangguan yang dialaminya saat ini.
2). Bagaimana masalah ini dapat membuat pandangan klien terhadap diri sendiri.
3). Tanyakan pada klien bagaimana perasaannya tentang operasi yang dialaminya.
Data objektif:
1). Kaji adanya ungkapan rendah diri klien.
2). Kaji respon verbal dan non verbal klien.

h. Pola nilai kepercayaan
Data subjektif:
1). Tanyakan apakah klien menganut sistem kepercayaan tertentu.
2). Tanyakan kebebasan klien dalam melakukan kegiatan ibadahnya.

Data objektif:
1). Kaji respon verbal dan non verbal klien saat menanyakan nilai kepercayaannya.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dan individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dalam memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan membatasi mencegah dan merubah (Carpenito, 2000).
Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien pasca operasi Hernioraphy menurut Doenges (1999) adalah:
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi bedah.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi.
d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.

3. Rencana keperawatan
Perencanaan meliputi perkembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan, dimana tahapan ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam, 1999)
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien pre dan post operasi hernia, rencana tindakan keperawatan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan insisi bedah.
Tujuan: nyeri terkontrol sampai hilang

Kriteria evaluasi:
1). Klien melaporkan nyeri berkurang atau tidak ada nyeri
2). Klien mampu beristirahat/tidur dengan tepat
3). Tanda-tanda vital dalam batas normal
Rencana tindakan keperawatan:
1). Selidiki keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas dan faktor pemberat/penghilang. Perhatikan petunjuk non verbal misalnya melindungi otot, nafas dangkal, respon emosi
Rasional:
Nyeri insisi pada fase pasca operasi awal, diperberat oleh gerakan, batuk distensi abdomen, mual. Membantu mengidentifikasi intervensi yang tepat dan mengevaluasi keefektifan analgesia (Doenges, 1999).
2). Anjurkan klien untuk melaporkan nyeri segera saat mulai
Rasional:
Intervensi diri pada kontrol nyeri memudahkan pemulihan otot/jaringan dengan menurunkan tegangan otot dan memperbaiki sirkulasi (Doenges, 1999).
3). Pantau tanda-tanda vital
Rasional:
Respon autonomik meliputi perubahan pada TD, nadi, dan pernafasan, yang berhubungan dengan keluhan/penghilang nyeri. Abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi lanjut (Doenges, 1999).
4). Kaji insisi bedah, perhatikan edema atau inflamasi, pembentukan hematoma, mengeringnya tepi luka.
Rasional:
Pendarahan pada jaringan, bengkak, inflamasi atau terjadinya infeksi dapat menyebabkan peningkatan nyeri insisi (Doenges, 1999).


5). Ambulasi klien sesegera mungkin.
Rasional:
Menurunkan masalah yang terjadi karena imobilisasi misal: tegangan otot, tertahannya flatus (Doenges, 1999).

b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah.
Tujuan: klien mencapai pemulihan luka tepat waktu tanpa komplikasi
Kriteria evaluasi:
1). TTV dalam batas normal
2). Klien tidak demam
3). Tidak terjadi infeski
4). Luka tidak mengeluarkan drainase atau inflamasi
Rencana tindakan keperawatan:
1). Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan demam, takipnea, takikardia dan gemetar.
Rasional:
Mungkin indikatif dari pembentukan hematoma (Doenges, 1999).
2). Periksa luka dengan sering terhadap bengkak insisi berlebihan, inflamasi dan drainase.
Rasional:
Terjadinya infeksi menunjang perlambatan pemulihan luka (Doenges, 1999).
3). Bebas insisi selama batuk dan latihan nafas.
Rasional:
Meminimalkan stress/tegangan pada tepi luka yang sembuh (Doenges, 1999).
4). Gunakan plester kertas/bebat montgonery untuk balutan sesuai indikasi.


Rasional:
Penggantian balutan sering dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit karena perlekatan yang kuat (Doenges, 1999).

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer, luka operasi
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria evaluasi:
1). Klien mencapai pemulihan luka tepat waktu
2). Klien bebas dari demam
3). Luka bebas dari drainase purulen atau eritema
4). TTV dalam batas normal
Rencana tindakan keperawatan
1). Pantau tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan suhu
Rasional:
Suhu malam hari memuncak yang kembali normal pada pagi hari adalah karakter infeksi. Peningkatan suhu 4-7 hari setelah pembedahan sering menandakan abses luka (Doenges, 1999).
2). Observasi penyatuan luka, karakter drainase, adanya inflamasi
Rasional:
Perkembangan infeksi dapat memperlambat pemulihan (Doenges, 1999).
3). Pertahankan perawatan luka aseptik. Pertahankan balutan kering
Rasional:
Melindungi pasien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan. Balutan basah menyerap kontaminasi eksternal (Doenges, 1999).
4). Berikan obat-obatan sesuai indikasi: antibiotik.
Rasional:
Diberikan secara profilatif dan untuk mengatasi infeksi (Doenges, 1999).

d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : memenuhi kebutuhan belajar klien
Kriteria evaluasi:
1). Klien dan keluarga mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit dan pengobatan .
Rencana tindakan keperawatan
1). Tentukan persepsi klien tentang proses penyakit
Rasional:
Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan belajar (Doenges 1999)
2). Kaji ulang proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor yang menimbulkan gejala dan mengidentifikasi cara menurunkan faktor pendukung. Dorong pertanyaan
Rasional:
Pengetahuan dasar yang akurat memberikan kesempatan pasien untuk membuat keputusan informasi/pilihan tentang masa depan dan kontrol penyakit kronis. Meskipun kebanyakan pasien tahu tentang proses penyakitnya sendiri, mereka dapat mengalami informasi yang telah tertinggal atau salah konsep (Doenges 1999).
3). Identifikasi tanda-tanda, gejala yang memerlukan evaluasi medis (misalnya demam menetap, bengkak, eritema, terbukanya tepi luka, dan perubahan karakteristik drainase).
Rasional:
Pengenalan dini dari komplikasi dan intervensi segera dapat mencegah progresi situasi serius, mengancam hidup (Doenges 1999)
4). Demonstrasikan perawatan luka/mengganti balutan yang tepat.
Rasional:
Meningkatkan penyembuhan, menurunkan resiko infeksi, memberikan kesempatan untuk mengobservasi pemulihan luka (Doenges 1999)
5). Anjurkan peningkatan aktivitas bertahap sesuai toleransi dan keseimbangan dengan periode istirahat yang adekuat
Rasional:
Mencegah kelelahan, merangsang sirkulasi dan normalisasi fungsi organ. Meningkatkan penyembuhan (Doenges 1999).

4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001). Pelaksanaan asuhan keperawatan dengan hernioraphy tentunya merujuk pada rencana keperawatan yang telah dirumuskan.
Dalam tahap pelaksanaan ini, perawat berperan sebagai pelaksana keperawatan, memberi dorongan, pendidik, advokasi, konselor dan penghimpunan data (Carpenito, 1999).

5. Evaluasi
Tindakan intelektual untuk melengkap proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2001).
Evaluasi terdiri dari 2 jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
a. Evaluasi formatif (evaluasi proses, evaluasi jangka pendek, atau evaluasi berjalan) dimana evaluasi dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai.
b. Evaluasi sumatif (evaluasi hasil, evaluasi akhir dan evaluasi jangka panjang), evaluasi ini dilakukan diakhir tindakan keperawatan paripurna dilakukan dan menjadi metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format “SOAP” (Nursalam, 2001).
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik dalam rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan, dan standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Ada empat kemungkinan yang dapat terjadi pada tahap evaluasi, yaitu: masalah teratasi seluruhnya, masalah teratasi sebagian, masalah tidak dapat teratasi, dan timbulnya masalah baru.

6. Perencanaan Pulang
Pada klien dengan post hernioraphy perlu adanya penyuluhan tentang penyakit hernia dan cara merawat luka bekas operasi dan mencuci luka dengan baik serta mengetahui tanda-tanda penyebab infeksi. Dan anjurkan klien supaya tidak mengangkat beban berat dan beraktivitas berat.
Bila klien mengalami infeksi pada luka operasi maka hendaknya segera di bawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan serta pengobatan teratur dari rumah sakit.